Di seluruh Pulau Jawa hanya ada satu tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab, yakni Kudus. Dahulu Kudus ini bernama Loram. Namun oleh Sunan Kudus, daerah ini diganti dengan nama Kudus. Kudus berasal dari kata Al-Quds yang berarti kesucian. Kata Quds yang artinya suci dalam ejaan lidah Jawa kemudian berubah menjadi Kudus. Secara geografis kota Kudus di propinsi Jawa Tengah ini tidak terlalu besar namun memiliki ciri-ciri sosio-ekonomi yang khas. Rokok, jenang, soto, batik, bordir, dan beberapa produk lain akan dengan mudah membawa citra tentang Kudus. Kegiatan perdagangan dan industri berbasis rumah tangga skala kecil dan menengah dan industri modern berskala besar adalah, pemandangan sehari-hari bagi masyarakat Kudus. Kota Kudus begitu dinamis karena daerah ini kaya akan situs sejarah dan warisan budaya yang berhubungan dengan penyebaran agama Islam. Sosok Sunan Kudus Dinamika perkembangan Islam di Kudus tidak bisa dilepaskan dari keberadaan salah seorang tokoh dari Walisongo, yakni Sunan Kudus yang nama aslinya adalah Syaikh Ja’far Shodiq. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Sunan Kudus juga dikenal dengan nama Jawa, yakni Raden Rananggana (rana berarti perang, dan hanggana berarti hawa nafsu). Jadi, arti dari nama Rananggana adalah orang yang berperang melawan hawa nafsu. Di kalangan ahli thoriqot, Sunan Kudus memang dikenal sebagai waliyyul ‘ilmi dan sebagai sosok Waliyullah yang mempunyai tingkatan zuhud yang amat tinggi (zuhud di dalam zuhud), yang terbebas dari belenggu hawa nafsu duniawi. Sunan Kudus selain dikenal sebagai orang alim, juga merupakan pemimpin militer yang disegani. Sunan Kudus adalah seorang senopati, ahli strategi dan pemberani dalam peperangan, sehingga oleh Sultan Demak diangkat sebagai Senopati Demak dalam menanggulangi serangan tentara Majapahit. Sebagai seorang senopati, sudah barang tentu Sunan Kudus menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Sunan Kudus memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang mumpuni. Mempunyai penguasaan terhadap pengetahuan duniawi dan kesalehan secara ukhrowi. Perpaduan sebagai umaro’ (pemimpin dunia) dan ulama’ (pemimpin agama) adalah contoh ideal yang patut diteladani. Dengan dua kemampuan tersebut, seorang pemimpin akan dapat membawa rakyatnya menuju masyarakat yang adil, makmur, dan diridhoi oleh Allah SWT. Pendekatan Sosial Budaya Dalam Dakwah Spirit lain yang diajarkan oleh Sunan Kudus adalah sikap toleransi terhadap perbedaan atau keberagaman yang ada. Sepanjang keberagaman tersebut tidak melanggar syara’ (hukum agama Islam), keberagaman tersebut dapat diakomodir sehingga tidak menimbulkan konflik horisontal dalam masyarakat, tetapi justru menumbuhkan sikap simpati dan empati. Sebagai contoh, penghargaan dan toleransi Sunan Kudus terhadap penganut ajaran Hindu yang mengkultuskan sapi atau lembu merupakan teladan positif dan semakin mengokohkan bahwa Islam menyebar di Nusantara saat itu tidak menggunakan model kekerasan. Islam berkembang dengan cara yang damai sehingga dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, meskipun pada awalnya berbeda keyakinan. Oleh karena itu, sikap toleransi dan sikap menghargai haruslah tetap menjadi spirit umat Islam dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Model penyebaran agama Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo, termasuk Sunan Kudus, sangatlah jauh berbeda dengan perilaku kekinian dari sekelompok orang yang mengatasnamakan dakwah dan syari’at Islam, akan tetapi mewujudkan keinginannya dengan cara yang keji, yang justeru bertentangan dengan syari’at Islam. Sunan Kudus melestarikan bangunan bernuansa Hindu, bahkan menjadikannya sebagai simbol sentral dari dakwah Islam di kawasan Kudus, yakni Menara Kudus. Meskipun dari sisi arsitektur, Menara Kudus punya kemiripan dengan bangunan candi, namun pada dasarnya Menara Kudus bukan berasal dari bangunan candi. Hal ini dilakukan semata-mata oleh Sunan Kudus sebagai metoda pengenalan Islam secara elegan, dengan tidak merusak budaya dan tatanan sosial di kala itu. Ini berbeda 180 derajat dengan kelakuan ISIS yang dengan penuh angkara murka menghancurkan bangunan-bangunan warisan kebudayaan dunia yang mereka klaim bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal sejatinya ajaran Islam tidak pernah menyuruh umatnya merusak peninggalan sejarah, bahkan di dalam al-Qur’an diperintahkan untuk mengunjungi situs peninggalan sejarah untuk bertafakkur mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu. Surah ar-Rum ayat 42: Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)". Bukan hanya bangunan-bangunan “kafir” yang mereka hancurkan, akan tetapi banyak juga situs bersejarah dan bernilai spiritual keislaman tinggi mereka hancurkan. Mulai dari bangunan masjid di Mosul, makam Nabi Yunus AS, hingga kompleks makam di Timbuktu. https://kumparan.com/kumparannews/7-situs-bersejarah-yang-dihancurkan-isis/full Di Indonesia juga pernah terjadi upaya serupa, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan ajaran Islam, yakni peristiwa pengeboman Candi Borobudur pada tahun 1985. https://id.wikipedia.org/wiki/Pengeboman_Borobudur_1985 Dengan mindset yang sama, belakangan terjadi pula aksi perobohan patung-patung karya seni yang dipelintir konsepnya oleh sekelompok orang dan dicap sebagai patung “kafir”, misalnya perobohan patung Tiga Mojang di Bekasi. https://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/06/20/120714-nyoman-nuarta-patung-tiga-mojang-bukan-bunda-maria Tempat Wudhu dengan Arca Asta Sanghika Marga yang berarti delapan jalan kebenaran. Ajaran Toleransi Abadi Selain fenomena adanya artefak budaya Hindu dan Budha di kompleks Masjid Menara Kudus, terdapat pula warisan budaya toleransi yang dicontohkan oleh Sunan Kudus. Dikisahkan dahulu Sunan Kudus di suatu tempat pernah mengalami kehausan yang amat sangat, kemudian ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi minum air susu sapi. Sebagai ungkapan terima kasih dari Sunan Kudus, maka masyarakat Kudus saat itu untuk sementara dilarang menyembelih dan makan daging lembu. Tujuannya adalah untuk menghormati para pemeluk agama Hindu. Dengan metode dakwah seperti itu potensi konflik di dalam masyarakat dapat dihindari dan tujuan dakwah pun berhasil dengan baik. Pelarangan ini adalah simbol penghormatan bagi pemeluk agama Hindu yang pada saat itu masih mayoritas. Padahal sapi tidak diharamkan bagi pemeluk agama Islam. Bahkan sampai sekarangpun sebagian masyarakat Kudus masih memegang teguh tradisi tidak menyembelih sapi, termasuk pada Hari Raya Kurban, meskipun tidak juga mengharamkannya. Masyarakat Kudus lebih memilih menyantap daging kerbau, hingga muncul menu makan khas Kudus dari daging kerbau mulai dari Soto Kebo, Uyah Asem, hingga Nasi Jangkrik. Hal ini barangkali dilakukan karena kecintaan mereka kepada Sunan Kudus, walaupun sebenarnya larangan mengkonsumsi daging sapi itu sudah tidak relevan lagi. Kisah Sunan Kudus dan sapi ini merupakan fenomena kebalikan 180 derajat dari perilaku beberapa orang yang mengaku sebagai pendakwah Islam, yang dengan jumawanya menghina dan menghujat agama orang lain dalam melakukan dakwahnya. Ada ustadz yang mengolok-olok simbol agama lain, atau ada pula sekelompok orang memprotes desain grafis peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 75 yang menggunakan susunan balok-balok, yang dianggap sebagai simbol salib. https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01671491/dituding-mirip-lambang-salib-kenali-fungsi-supergraphic-dalam-logo-hut-ke-75-ri Lalu serta merta mereka menuduh pemerintah Indonesia memusuhi Islam. Perilaku semacam ini tentu tidak produktif, bahkan berbahaya bagi kedamaian dan merusak keberagaman dalam masyarakat. Mereka ini senantiasa berupaya menyulut bara api konflik horisontal di Indonesia, yang akhirnya menjadikan seluruh segi kehidupan menjadi semakin sulit bagi masyarakat bahkan bagi mereka sendiri. Dalam kondisi bangsa dan negara Indonesia yang sedang dirundung kesulitan dan ujian ini, sudah barang tentu sosok dan perjuangan Sunan Kudus perlu dijadikan teladan dan inspirasi positif yang diwariskan dari generasi ke generasi. ** Noor Hilmi**