BBC News Indonesia

Tiga perempuan muda Muslim membagikan pengertian mereka soal makna ibadah termasuk 'jihad' dalam konteks yang mereka pahami.

Pada bulan Maret dan April lalu, sejumlah anak muda yang masuk kelompok umur milenial disebut polisi sebagai pihak yang terlibat dalam serangan terorisme di Gereja Katedral Makassar dan rencana penyerangan di Mabes Polri.

Salah satunya Zakiah Aini, 26, yang dilaporkan hendak melakukan aksi teror demi apa yang dia sebut "jihad". Namun, tiga perempuan muda yang diwawancarai BBC tak sependapat dengan pemahaman jihad seperti itu.

Ajeng Satiti Ayuningtyas, 30, misalnya, memilih untuk berjihad dengan membagikan ilmu bagi para anak-anak jalanan.

"Saya sebagai perempuan, terlepas kita ibu atau bukan, kita punya rahim. Saya percaya Allah memberi kita kekuatan untuk menghidupkan peradaban, bukan mematikan peradaban. "Itu yang saya yakini, kita bisa melahirkan kebaikan di mana saja," ujarnya.

Jadi Kamtib hingga Satpol PP

Ajeng Satiti Ayuningtyas memahami jihad sebagai cara melakukan kebaikan di jalan Tuhan. "[Jihad] tidak melulu dilekatkan dengan permusuhan, peperangan. Jihad itu tidak berarti pakai pedang dan senjata, tapi bisa pakai ilmu," ujar Ajeng.

Ia memilih untuk berjuang dengan memberikan kesempatan bagi anak-anak jalanan untuk mengembangkan diri, melalui gerakan yang didirikannya Sekolah Cinta Anak Indonesia (Sekoci- sebelumnya bernama Sekolah Kolong Cikini).

 

sekoci

Menurut Ajeng, jihad bisa dilakukan melalui penyebaran ilmu. JENG AYUNINGTYAS

 

Di sekolah itu dia mencoba membuka mata anak jalanan bahwa mereka pun berhak bercita-cita tinggi. Jika di sekolah formal, anak-anak biasa bercita-cita menjadi dokter, arsitek, atau pilot, di Sekoci, cita-cita anak-anak yang diasuhnya lebih beragam.

"Ada yang mau jadi [petugas] kamtib, satpol PP, ada yang mau jadi kenek bus. Ya nggak bisa disalahkan, karena sehari-hari lekat dengan profesi tersebut.

"Jadi kami berikan perspektif berbeda. Ada berbagai profesi lainnya yang bisa kalian lihat. Harapannya mereka punya daya atau kemampuan untuk mencapai cita-cita itu," ujar Ajeng.

 

sekoci

Salah satu kegiatan Sekoci yakni membuat kubus, balok dan piramida dari karton. SEKOCI

 

Mereka yang diajar di Sekoci kebanyakan anak-anak pekerja informal di Jakarta, seperti pedagang asongan, supir kendaraan umum, hingga pemulung. Anak-anak ini menghabiskan waktu di jalanan, kebanyakan sebagai pengamen.

Meski tidak kalah pintarnya dengan anak-anak lain, mereka yang besar di jalanan seringkali tak bisa mencapai cita-cita yang tinggi karena sejumlah hal, salah satunya karena putus sekolah, kata Ajeng.

 

Sekoci

Kegiatan belajar mengajar Sekoci sebelum pandemi. SEKOCI

 

Salah satu anak didik Sekoci, misalnya, yang akan diikutkan olimpiade matematika di sekolahnya, tiba-tiba putus sekolah tanpa alasan jelas. "Kami sampai datangi sekolahnya. Ini anak kemana? Sekolahnya malah mau mengeluarkan anak ini. Kami cari anak itu kemana-mana," ujar Ajeng.

Baru belakangan, ia tahu anak seorang pengemudi bajaj itu dibawa oleh ibunya ke kota lain secara tiba-tiba. Alhasil, fasilitas pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang diterimanya putus. "Putus lagi sekolah… Ini seperti rantai yang tak putus," kata Ajeng.

 

sekoci

Selama pandemi, kegiatan Sekoci dilakukan secara jarak jauh. SEKOCI

 

Kini, anak itu telah kembali bersekolah, tapi Ajeng masih berupaya mengaktifkan kembali KJP anak itu. Ia juga berupaya membantu anak-anak putus sekolah lainnya mengikuti program kejar paket.

Sekoci, yang menyelenggarakan sejumlah kegiatan seperti membaca, menghitung, hingga bermain, didirikan Ajeng di tahun 2015. Sebagian besar dari anak didik Sekoci menjalani sekolah formal, sehingga kegiatan Sekoci diperuntukkan untuk melengkapi pendidikan anak-anak tersebut.

Gerakan itu juga memberi penekanan khusus pada perilaku, mengingat jalanan bukan tempat yang ramah anak. Ajeng bercerita Sekoci didirikannya karena ia merasa resah dengan apa yang didengarnya tentang anak jalanan.

 

Sekoci

Kegiatan membaca puisi yang diadakan sebelum pandemi Covid-19. SEKOCI

 

Ibunya dulu tinggal di kawasan padat penduduk di Jakarta Pusat yang kerap menyaksikan bagaimana anak jalanan terlibat kekerasan dan narkoba. Saudaranya sendiri pernah mengalami perlakuan kasar dari anak jalanan.

Atas dasar itu, ia memutuskan bergerak untuk menjangkau dan mengedukasi anak-anak jalanan. Di masa pandemi Covid-19, anak-anak itu menghadapi tantangan lebih berat karena Pembelajaran Jarak Jauh, khususnya yang orang tuanya tak memiliki ponsel.

Namun, meski sulit, belajar jarak jauh tetap dilakukan.

 

Sekoci

Kegiatan Sekoci sudah meluas ke pendidikan orang tua anak-anak yang besar di jalanan. SEKOCI

 

Kini, kegiatan Sekoci pun sudah diperluas ke pendidikan pengasuhan anak, atau parenting, yang diberikan kepada sejumlah pekerja informal di Jakarta, seperti tukang sapu, penjaga keamanan, hingga para pengamen.

Ajeng mengatakan meski penuh tantangan, ia yakin apa yang diperbuatnya adalah salah satu wujud ibadahnya.

"Di agama diajarkan berbuat baik nggak usah jauh-jauh, yang deket-dekat ini sudah ibadah," pungkasnya.

'Gigi bengkak bukan kutukan'

Bagi Gracety Shabrina, 28, jihad adalah perjuangan untuk melayani sesama. "Kita bisa berjuang sesuai kemampuan kita atas keilmuan dan kesempatan yang kita miliki, untuk dimanfaakan sebaik-baiknya untuk masyarakat.

"Untuk kebermanfaatan seluas-luasnya agar bisa menjadi amal jariyah kita," ujarnya. Sebagai dokter gigi, yang dilakukannya adalah mengupayakan kesehatan gigi masyarakat melalui program yang dibentuknya sejak kuliah, Dentist Day Out.

 

drg

Gracety Shabrina mendirikan Dentist Day Out saat ia masih berkuliah. GRACETY SHABRINA

 

Melalui program itu, dia telah bepergian ke sejumlah daerah pelosok di Indonesia untuk memberi penyuluhan terkait kesehatan gigi warga, juga pemeriksaan gigi warga secara gratis.

Salah satunya adalah ke Baduy Dalam, Provinsi Banten, yang warganya menyikat gigi dengan sabut kelapa. Yang mengejutkan, kata Grace, gigi mereka sangat baik.

Hanya, saja, katanya, ada beberapa warga yang giginya bengkak karena cara menyikat gigi yang tak benar.

 

drg

Dalam sejumlah kegiatan yang dilakukan Dentist Day Out, warga diberikan pemeriksaan gigi gratis. DENTIST DAY OUT

 

Di daerah itu pula gigi bengkak dipercayai merupakan sebuah kutukan, hal yang kemudian diluruskannya kepada warga.

"Kami tidak melakukan interfensi agar mereka menggunakan sikat gigi seperti yang kita lakukan karena ada adat yang melarang mereka untuk menggunakan hal-hal modern.

"Sehingga kami melakukan pendekatan, tidak masalah mereka gunakan sabut kelapa, tapi dengan teknik dan cara yang benar," ujarnya.

Di lain waktu, Grace dan kawan-kawannya menyambangi pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT), ke sebuah desa yang mayoritas beragama Kristen.

 

drg

Gigi warga yang difoto dalam kunjungan Dentist Day Out ke kawasan Ijen tahun 2016. GRACETY SHABRINA

 

Lulusan pesantren Santri Siap Guna Daarut Tauhiid, Bandung, Jawa Barat, ini mengatakan, ia tergerak untuk membuat gerakan itu setelah menyambangi Karimun Jawa di tahun 2012.

Di situ dia melihat sulitnya warga untuk mendapat pelayanan gigi. Bahkan, ada warga yang harus menyewa kapal ke Jepara untuk menuju fasilitas kesehatan.

Saat ini, di tengah pandemi, meski tidak seaktif dahulu menyambangi daerah-daerah terpencil, kegiatan penyuluhan tetap dilakukan Dentist Day Out, baik secara online, maupun offline.

Sejumlah anggota gerakan itu pun masih mengabdi di daerah terpencil di Maluku maupun Kalimantan.

 

gigi

Bagi Gracety Shabrina, 28, jihad adalah upaya berguna bagi sesama. DENTIST DAY OUT

 

Ia merasa apa yang dilakukannya kepada pasiennya adalah wujud ibadah dan caranya melaksanakan sumpah dokter. "Semua orang sama, pasien kita juga. Mau di kota, di desa, yang kaya yang miskin, Islam, Hindu, Kristiani tetap pasien kita juga ada di sumpah dokter kita.

"Kalau di agama di bahasnya muamalah jadi dibolehkan, disarankan malah," ujarnya.

'Tak mengganggu orang lain'

Bagi Nadia Rahmawati, 17, jihad seharusnya tidak mengganggu orang lain.

 

Nadia

Sebelum belajar agama secara mendalam, Nadia menganggap agama lain adalah musuh. NADIA RAHMAWATI

 

Sebelum dididik di Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak, Jawa Tengah, Nadia memandang agama lain sebagai musuh.

"Sebelumnya, saya beranggapan bahwa agama saya yang paling benar dan seharusnya yang disembah adalah Allah, bukan batu, matahari, atau lainnya," ujarnya.

 

gereja

Bagi Nadia, masuk ke rumah ibadah lain terasa sebagai "masuk ke rumah saudara". NADIA RAHMAWATI

 

Namun, setelah mendalami ilmu agama, pandangannya berubah. "Pengurus pondok saya membekali santri-santrinya bahwa meski kita berbeda dalam kegamaan, tapi kita bersaudara. Berbuat baik tidak memandang agamanya apa," ujar Nadia.

Di pesantren itu juga Nadia mengikuti kegiatan kunjungan ke gereja dan tempat pendidikan pastor.

 

pondok damai

"Jihad itu artinya berpindah dari buruk ke baik. Kalau merusak orang lain, itu tidak diajarkan di agama kami," kata Nadia. NADIA RAHMAWATI

 

Di tahun 2019, dia bahkan pernah membacakan sebuah puisi di dalam gereja, tak lama setelah peristiwa pengeboman gereja di Sri Lanka. Saat itu, dia sudah tak merasa risih sama sekali masuk ke rumah ibadah agama lain.

"Rasanya seperti masuk ke rumah saudara," ujarnya. Nadia, yang sempat mengikuti kegiatan lintas agama- Pondok Damai 2021- mengatakan ia kini terus berupaya membagikan pemahamannya soal keberagaman pada junior-juniornya.

Baginya jihad adalah sesuatu yang tidak menyakiti orang lain, apalagi melakukan tindakan-tindakan yang disebut radikal.

"Jihad itu artinya berpindah dari buruk ke baik. Kalau merusak orang lain, itu tidak diajarkan di agama kami," katanya.

Perempuan, milenilal, gen Z sebagai sasaran

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2020 mengungkapkan bahwa perempuan lebih berpotensi terpapar paham radikalisme dibandingkan laki-laki. Selain itu, kelompok umur milenial dan gen Z juga disebut berpotensi besar terpapar.

Abdul Qodir, pengasuh Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak, yang aktif mengadakan kegiatan keberagaman bagi para santrinya, mengatakan untuk mencegah radikalisme, anak-anak muda perlu diberi pemahaman soal makna jihad.

"Jihad bukan mati di jalan Tuhan, tapi hidup di Jalan Tuhan, itu justru lebih sulit.

"Remaja perlu diedukasi untuk mengakses pengetahuan keagamaan dan informasi dari ustad-ustad yang santun, tinggalkan ustad-ustad yg mengajarkan kebencian. Intinya, jangan salah pilih guru ngaji," ujarnya.

Pesantren yang diurusnya sempat viral di tahun 2019 karena turut menyambut jemaat dalam Misa Natal di Semarang dengan bermain rebana.

Diterbitkan di Berita

Leonard Triyono VOA Indonesia 

Gus Aan Anshori, tokoh muda Nahdlatul Ulama dari kota santri Jombang dan dosen di Universitas Ciputra Surabaya tidak terkejut dengan temuan dan rekomendasi USCIRF itu karena selama ini dia juga berpendapat bahwa buah sistem pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan agama, cenderung mengarah pada intoleransi. Dia merasa prihatin bahwa kondisi demikian akan sulit dihindarkan karena sistem pendidikan agama tidak memberikan ruang untuk dialog dan tidak inklusif.

“Orang belajar agama tertentu kan dididik dengan cara menegasikan agama yang lain. Itu sudah sangat common, dan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran yang pada titik tertentu akhirnya mendorong orang, semakin orang itu berislam, katakanlah, maka semakin ia tidak toleran dengan yang lain. Semakin ia Kristen sangat mungkin ia semakin tidak toleran dengan yang lain. Karena apa? Karena tidak diajari tentang agama yang lain,” tukasnya.

 

Gus Aan Anshori (dok. pribadi).
Gus Aan Anshori (dok. pribadi).

 

Gus Aan menambahkan, “Bagaimana mungkin kita disuruh mencintai saudara kita yang beragama tidak seperti kita, tetapi kita tidak diberitahu agama tersebut, dan malahan, katakanlah dalam perspektif competitor, agama yang lain itu dijelek-jelekkan agar agama kita itu menjadi unggul.” Menurutnya, kondisi demikian mengemuka karena “jebakan pengajaran agama yang pada titik tertentu di Indonesia hingga kini menyebabkan begitu banyak intoleransi.”

“Cara pandang demikian muncul karena sistem pendidikan agama di Indonesia masih sangat homogen, tidak heterogen. Hal-hal yang jauh lebih substantif, katakanlah berdialog, mencari titik temu, yang paling penting, sudah sangat lama tidak dijamah oleh sistem pendidikan nasional, terutama sistem pendidikan agama yang ada di seluruh struktur sistem pendidikan nasional,” imbuhnya.

Berbeda dari sistem pendidikan nasional, di tataran akar rumput ada individu-individu dan kelompok yang giat melaksanakan pendidikan toleransi bagi umatnya.

Bonnie Andreas adalah pendeta Gereja Kristen Indonesia di Jakarta dan wakil sekretaris umum GKI Sinode Jawa Tengah.

 

Pendeta Bonnie Andreas (dok. pribadi).
Pendeta Bonnie Andreas (dok. pribadi).

 

Pendeta Bonnie bersama para pendeta lain dan majelis gerejanya memiliki gagasan untuk memasukkan seorang guru tamu dari agama Islam untuk ikut mengajar katekisasi, yakni pembelajaran bagi peserta – disebut “katekisan” – yang ingin masuk ke dalam pengakuan percaya atau sidi yang di GKI wajib diikuti seminggu sekali selama 9-12 bulan.

Dia mengatakan tujuan mengundang pengajar tamu dari agama lain adalah untuk mendidik katekisan agar tidak hanya menjadi orang Kristen yang baik tetapi juga menjadi warga negara Indonesia yang toleran, yang bersahabat dan rukun dengan umat dari agama lain, serta memiliki pemahaman yang baik tentang perlunya interaksi antaragama.

“Buat saya, memaparkan percakapan antaragama itu penting, dalam situasi yang sejuk dan menyenangkan. Percakapan ini adalah sebuah kunci awal yang menurut saya sangat prasastional, sebagai sebuah prasasti yang bisa diteruskan oleh anak-anak didik,” ujar Bonnie.

 

Rombongan PMII berkunjung di Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius Pacitan. (foto: courtesy)
Rombongan PMII berkunjung di Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius Pacitan. (foto: courtesy)

 

Selain mengundang guru katekisasi dari agama Islam, Pendeta Bonnie mengatakan bahwa remaja dan pemuda di gerejanya sering dilibatkan dalam kegiatan kunjungan ke gereja-gereja dari denominasi berbeda dan vihara. Mereka juga mengikuti kemah dengan peserta antariman. Dia berpendapat bahwa dialog antaragama dan membangun serta membina persahabatan dengan umat yang berbeda agama secara santai dan bersahabat sangat penting demi kerukunan dalam pluralisme warga Indonesia.

Tunjukkan Toleransi dan Kebersamaan, Pemuda Lintas Agama Bagikan Iftar

Sebagai pihak yang diundang untuk menjadi pengajar di kelas katekisasi, Gus Aan Anshori bereaksi positif dan menganggap undangan itu sebagai “tantangan sekaligus berkah,” karena dia juga percaya bahwa pluralisme dan dialog antaragama harus dipupuk dan diadvokasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Gus Aan menganggap keberanian mengundang dirinya sebagai “terobosan” dan dia sendiri juga mempraktekkan gagasan tersebut dengan mengajak para mahasiswa yang tergabung dalam PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) untuk mengunjungi gereja, baik Katolik maupun Protestan, berdialog dengan rohaniwan, dan berinteraksi dengan jemaat gereja-gereja yang dikunjungi.

“Dengan menginklusi kami ke dalam ruang yang sangat personal – ini katekisasi lho – tetapi caranya dibalik oleh Pendeta Bonnie, ini harus dikasih tahu soal Islam supaya mereka bisa meng-embrace soal kasih itu dengan sesungguhnya. Ini menginspirasi saya untuk juga melakukan hal yang sama, misalnya, ketika saya mendidik teman-teman di PMII saya juga mengajari mereka untuk bisa belajar dari kekristenan, mengajak mereka mengunjungi gereja,” kata Gus Aan.

 

Para siswa MII Plosogenuk, Perak, Jombang bermain bersama para siswa SD Kristen Petra Jombang (foto: courtesy).
Para siswa MII Plosogenuk, Perak, Jombang bermain bersama para siswa SD Kristen Petra Jombang (foto: courtesy).

 

Gus Aan juga berusaha mempertemukan pelajar dari sekolah Kristen dengan pelajar dari madrasah, dengan melakukan kunjungan antarsekolah. Misalnya, dengan dibantu oleh seorang temannya dari Lakpesdam NU Jombang dia mengatur kunjungan siswa-siswi dan guru dari SD Kristen Petra (SDKP) Jombang ke Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah (MII) Plosogenuk, Perak, Jombang, tepat pada Hari Pendidikan Nasional yang lalu.

Gus Aan berpendapat, upaya kunjungan antarsekolah itu perlu dilakukan untuk mendobrak “sekat berbagai macam perbedaan identitas yang kerap membuat anak-anak terpenjara, saling curiga dan mudah mendiskriminasi jika kelak menjadi dewasa.” Mengenai acara pembauran siswa dan guru itu, dia menambahkan, “jika situasi segregatif seperti ini dibiarkan terjadi, maka hal itu akan terus memproduksi individu yang berpotensi terjerat gerakan intoleransi.”

Tentang masa depan pendidikan toleransi yang ideal dalam kebhinekaan di Indonesia, Pendeta Bonnie merasa optimis walaupun mungkin perlu proses lama untuk mencapainya. “Dari perspektif gereja, saya optimis karena ajaran kami mengedepankan persahabatan. Jadi, kami perlu mulai melakukan tindakan nyata, tidak lagi membicarakan, tetapi kami perlu untuk membuka ruang persahabatan, dan kadang mungkin tidak perlu dengan cepat menemukan titik temu. Kadang bersahabat itu dalam kerangka agree to disagree. Di situlah letak persahabatan yang kami sedang upayakan dengan banyak agama di Indonesia.”

 

Peter Suwarno, Ph.D., Profesor di Arizona State University (foto: courtesy).
Peter Suwarno, Ph.D., Profesor di Arizona State University (foto: courtesy).

 

Pendapat senada dengan Gus Aan Anshori disampaikan oleh Profesor Peter Suwarno, seorang diaspora Indonesia yang kini mengajar di Arizona State University. Dari wawancara dengan guru dan siswa dalam penelitiannya tentang pembelajaran agama di sekolah-sekolah di Indonesia, dia mendapati bahwa sistem pendidikan agama di Indonesia mengutamakan ibadah ritual.

“Saya mewawancarai beberapa guru mengenai pendidikan moral di Indonesia, dan pendidikan moral itu direalisasikan dalam bentuk pendidikan agama. Setelah saya observasi, saya interview guru, saya interview siswa-siswa juga – ini terlepas dari buku teks dan kurikulumnya – isinya adalah lebih banyak mengenai ibadah ritual,” ujar Suwarno.

Dari penelitiannya, dia menemukan bahwa pendidikan agama itu lebih banyak menekankan produk, dan hasilnya adalah siswa-siswa yang taat beragama yang ditunjukkan dengan rajinnya, kesetiaannya dalam beribadah. Dia mengaku kaget ketika dia mendapati jawaban dari para guru dan siswa mengenai prinsip dan konsep orang baik di Indonesia, ternyata orang yang baik adalah orang yang rajin beribadah. Menurutnya, “buah dari sebuah pengajaran moral atau agama adalah perbuatan baik.”

Suwarno menambahkan, “Kenapa itu menjadi sumber intoleransi? Ya, mau tidak mau, pendidikan agama yang menekankan ibadah ritual mengatakan bahwa ibadah ritual kita yang paling baik, yang lain tidak baik.”

 

Puluhan siswa-siswi peserta tur berkunjung ke GKP Kampung Sawah. Mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda dalam wisata toleransi. (Foto dok. VOA/Rio Tuasikal)
Puluhan siswa-siswi peserta tur berkunjung ke GKP Kampung Sawah. Mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda dalam wisata toleransi. (Foto dok. VOA/Rio Tuasikal)

 

Profesor Suwarno mengatakan bahwa di Amerika memang agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah negeri, tetapi pendidikan moral, misalnya, dilaksanakan dengan pelajaran sejarah agama-agama. Dalam pelajaran itu tidak boleh ada yang menyalahkan agama lain, tetapi sebaliknya, siswa dididik untuk mengapresiasi tradisi agama-agama yang berbeda-beda. Siswa juga dituntut belajar dan mempraktekkan prinsip-prinsip, termasuk “honesty (kejujuran), respect (kesopanan), service (pelayanan) yang semuanya mendorong anak didik untuk menunjukkan perbuatan baik yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

 

Namun, Profesor Suwarno tetap optimis dengan masa depan toleransi di Indonesia, terutama setelah mengamati adanya gerakan-gerakan di tingkat akar rumput yang bertujuan untuk mengembangkan, memupuk dan merawat kehidupan yang harmonis dalam semangat pluralisme di bawah payung Bhineka Tunggal Ika.

“Di Indonesia ada peristiwa-peristiwa, misalnya pertemuan berbagai kelompok agama. Di Salatiga, misalnya, ada kelompok di desa Getasan kalau hari raya Idul Fitri banyak orang Kristen mengunjungi desa Muslim dan bersilaturahmi di sana. Sebaliknya, waktu Natal, masyarakat Muslim mendatangi dan bersilaturahmi di tempat orang Kristen. Jadi masih banyak seperti itu,” pungkasnya. [lt/ab]

Diterbitkan di Berita

Annisa Saumi alinea.id

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengingatkan agar selalu menjaga toleransi pada bulan Ramadan. Di samping menjalankan ibadah puasa, menjaga hubungan antar sesama manusia juga wajib dilakukan.

"Penting bagi kita untuk menghargai sesama umat beragama. Karena puasa bukan aktivitas yang hanya dilakukan umat muslim saja, teman-teman Hindu melakukan puasa, begitu juga umat Kristen," kata Nadiem, Sabtu (8/5). 

Dia melanjutkan, masyarakat sudah sering membicarakan tentang toleransi. Namun, pada kenyataannya kasus intoleransi terus terjadi di sekitar kita. 

Menurutnya, hal tersebut terjadi karena belum adanya kebijakan yang langsung mengarah ke pencegahan atau penanganan kasus intoleransi. 

"Ironisnya lagi, banyak kasus intoleransi yang terjadi di sekolah dan kampus, yang semestinya menjadi tempat belajar caranya menghargai perbedaan melalui pertemanan dan pelajaran di dalam kelas," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Nadiem, pihaknya bertekad menghapus tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. 

Nadiem  menilai pendidikan harus bebas dari intoleransi. Pasalnya, kreativitas, nalar kritis, dan inovasi hanya dapat berkembang jika peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia belajar dengan merdeka tanpa paksaan dan tekanan. 

Diterbitkan di Berita

Perihal ini, umat Gereja Katolik Mater Dei Madiun turut serta melakukan penjagaan dan bantuan pengamanan kegiatan ibadah salat tarawih di Masjid Mujahidin yang lokasinya hanya beberapa meter di sisi selatan Gereja Mater Dei tersebut.

"Penjagaan yang kami lakukan di Masjid Mujahidin ini sudah dilakukan sejak 2019 lalu. Tujuannya memberikan kenyamanan jamaah masjid dalam melaksanakan ibadah di bulan suci ramadan, serta menjalin hubungan sosial antar umat beragama," kata Koordinator Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) Gereja Katolik Mater Dei Madiun Yustinus Karyono pada rri.co,id, Jumat (23/4/2021).

Yustinus menjelaskan, bentuk kegiatan yang dilakukan salah satunya ikut membantu mengatur lalu lintas sekaligus menyebrangkan jamaah yang hendak ke masjid.

Sementara itu, Badan Gereja Katolik Paroki Mater Dei Madiun Yusup Trimanto menyatakan, ada 12 orang yang terlibat dalam bantuan pengamanan luar masjid.

Penjagaan dan pengamanan dilakukan menjelang hingga selesai salat tarawih mulai pukul 18.30 WIB sampai 20.00 WIB.

Tidak hanya pada salat tarawih, lanjutnya, ketika lebaran umat gereja juga membantu pengamanan, menjaga kekhidmatan umat muslim melaksanakan salat ied.

"Saudara-saudara kami muslim sangat welcome terhadap sedikit bantuan yang kita berikan. Karena ini sebagai bentuk toleransi dan kita juga sering dibantu oleh saudara-saudara kami umat muslim ketika kita melaksanakan hari raya,” terangnya.

Kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Kota Madiun, Asep Fron mengharapan, apa yang dilakukan oleh umat katolik mampu memberikan kenyamanan masyarakat muslim untuk menjalankan ibadah di bulan ramadhan.

“Selain itu, harapannya momentum ini dapat dicontoh orang muda khususnya dari katolik, merangkul siapapun semua stakeholder yang ada di Kota Madiun maupun yang ada di Indonesia untuk menjalin silaturrahmi dan hubungan beragama yang baik. Ini adalah satu cara untuk menangkis intoleransi yang beredar dan berkembang di Indonesia,” ucapnya.

Pihak lain, seorang jamaah Masjid Mujahidin Kota Madiun,Ghea Ramadhani mengapresiasi, upaya umat Gereja katolik Mater Dei yang turut serta menjaga dan mengamankan kegiatan salat tarawih.

“Harapannya tentu bisa mempererat silaturrahmi antar umat beragama agar bangsa ini bisa sesuai dengan ideologi Bhineka Tunggal Ika dan semoga bisa menjadi contoh untuk lainnya agar bisa lebih aman dan damai,” kata Ghea.

Adapun, Takmir masjid Mujahidin Kota Madiun Maryono menilai, apa yang dilakukan umat katolik Gereja Mater Dei merupakan wujud kebersamaan antar umat beragama yang harus tetap terjaga.

“Kami mengucapkan terimakasih ini adalah suatu bentuk kebersamaan. Jadi Gereja Mater Dei ada kegiatan, kami dari masjid pun ikut mengamankan maupun mengatur dari lalu lintas,” pungkasnya.

 

Diterbitkan di Berita

Rizki Nurmansyah SuaraJakarta.idGereja Santo Laurensius Alam Sutera Serpong merupakan salah satu gereja terbesar dan megah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Di balik kemegahannya itu, ada cerita menarik soal toleransi beragama.

Terutama saat puasa Ramadhan saat ini. Itu lantaran, dari 31 pegawai yang ada sekira 12 orang diantaranya merupakan muslim.

Meski bekerja di lingkungan gereja, mereka tetap menjalankan puasa Ramadhan seperti biasa. Tak ada pelarangan apapun yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah mulai dari sholat hingga tadarus Al-Quran. Sikap toleransi beragama pun terbangun erat.

Dari belasan pegawai muslim di Gereja Santo Laurensius Tangsel itu, salah satunya adalah Firda Silvina. Dia sudah bekerja hampir dua tahun sebagai petugas kebersihan.

Silvi bercerita menjalankan puasa di lingkungan gereja sama saja seperti di tempat kerja lainnya. Justru dia terkesan dengan toleransi yang ada.

"Menjalankan puasa di sini sama kayak di rumah atau di mana-mana. Di sini tidak ada perbedaan sama seperti di tempat kerja lain. Bahkan di sini itu toleransi antar agama itu benar-benar terjaga. Nggak ada larangan apapun. Contohnya seperti saya. Saya menggunakan hijab dan nggak ada larangan. Hijab ini sebagai tanda bahwa saya muslim dan bekerja di gereja Katolik ini," katanya mulai bercerita kepada SuaraJakarta.id ditemui, Sabtu (17/4/2021).

 

Firdia Silvina, pegawai muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]
Firda Silvina, pegawai muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]

 

Silvi dalam waktu normal bekerja dari sekira pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sejak adanya pandemi Covid-19, dia dan para pegawai lainnya bisa pulang lebih awal pukul 14.00 WIB.

Untuk melaksanakan sholat dan tadarus Al-Quran, dia dan pegawai muslim lainnya diberi ruangan khusus. Hal itu lantaran tak bisa sembarang tempat di gereja bisa jadikan tempat sholat.

"Kalau misalnya aktivitas agama muslim di gereja itu nggak masalah. Kayak kita mau sholat, ngaji, dan lainnya boleh. Tapi tidak bisa disembarang tempat. Karena kita juga nggak bisa berdoa kalau ada tanda-tanda (salib) itu di sini. Jadi milih-milih tempat. Buat sholat kita dikasih satu ruangan khusus. Biasanya itu juga dipakai sama umat muslim lain yang berkegiatan di gereja. Bersih, nyaman juga," papar Silvi.

Silvi menceritakan awalnya sempat mengalami pergolakan batin. Dia tak menyangka akan bekerja di sebuah gereja.

Terlebih, ia belum pernah sama sekali masuk ke dalam gereja dan sehari-hari terbiasa berhijab. Sehingga, terasa aneh baginya ketika bekerja di tempat ibadah umat lain.

"Awalnya iya ada perasaan, kayak 'gue nggak pernah ke geraja. Karena tuntutan kerja gue harus ada di gereja'. Itu awal-awal mungkin sampai tiga bulan. Masih nggak nyangka dan nggak nyaman sih sebenarnya. Karena di sini berhubungan langsung sama umat non-muslim," tuturnya.

Silvi juga sempat mendapat ejekan dari temannya saat awal bekerja di Gereja Santo Laurensius. Namun ejekan itu tak dipedulikannya. Dia tetap bertahan.

"Kalau dari keluarga alhamdulillah aman. Dari teman kadang ada usilan-usilan atau ejekan. Tapi kembali lagi ke saya, saya kerja itu buat diri saya bukan buat mereka. Toh kalau ikutin apa kata mereka juga, mereka nggak biayain saya," tegasnya.

Cewek berkacamata itu juga mengaku, saat awal bekerja, hampir semua karyawan yang non-muslin dan umat yang akan beribadah bertanya lantaran merasa heran memakai hijab tapi bekerja di gereja.

"Hampir semua pada nanya, 'Kenapa kamu mau kerja di sini? Padahal pakai kerudung'. Saya jawab, 'karena saya muslim wajar kalau pakai hijab'. Gitu aja. Paling ada pertanyaan lain 'gimana kamu kerja di sini nyaman atau nggak?' Waktu awal hampir semua pada nanya," kata Silvi menirukan perkataan orang yang menanyainya.

 

Firdia Silvina, pekerja muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]
Firda Silvina, pekerja muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]

 

Seiring berjalannya waktu, wanita berusia 23 tahun itu akhirnya mulai terbiasa. Mendapat sikap ramah dari karyawan lain, pastur hingga dewan paroki gereja, membuatnya betah bekerja.

"Tapi sekarang sudah nyaman kerja di sini. Karena karyawannya, pasturnya, dewan parokinya, semuanya. Di sini nggak ada yang beda-bedain kita muslim mereka katolik itu nggak ada seperti itu. Dari situ akhirnya mulai merasa nyaman," ucapnya sambil bersyukur.

Sebagai petugas kebersihan, Silvi bertugas membersihkan seluruh area bagian Gereja Santo Laurensius yang terbagi dalam tim. Dia pun sudah terbiasa membersihkan altar ibadah serta patung-patung yang ada di dalam gereja.

Pegawai muslim lainnya, Warsih mengatakan, menjalani puasa Ramadhan di lingkungan gereja tak jauh berbeda dengan di rumah. Tak ada larangan apapun. Aktivitas sholat dan mengaji tetap diperbolehkan.

Warsih sudah 7 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di gereja megah bak istana itu.

"Puasa di gereja biasa aja, karena emang sudah biasa. Nyaman-nyaman aja," katanya sambil memegang sapu lidi di halaman gereja.

Senada diungkapkan pegawai muslim lainnya, Ismail. Pria 50 tahun itu menuturkan, selama Ramadhan, pihak gereja memaklumi pegawaian yang dilakukan tidak terlalu ekstra.

"Seperti biasa aja di rumah, dalam lingkungan karyawan juga seperti keluarga, nggak ada perbedaan. Pihak gereja juga mengerti kita lagi puasa, sampai Romo-nya pun memahami kalau kita lagi puasa. Dia tak terlalu menekan pegawaian, kerjain aja semampunya," katanya usai memetik daun kemangi.

 

Ismail, pegawai muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]
Ismail, pegawai muslim yang bertugas sebagai petugas kebersihan di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), saat ditemui Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]

 

Sama seperti Silvi, saat awal bekerja, Ismail sempat merasa canggung dan bingung. Lantaran lingkungan kerjanya merupakan tempat ibadah agama lain.

"Awalnya memang kita bingung. Karena saya muslim bekerja di lingkungan gereja. Saya melakukan ibadah selana Ramadhan juga bingung, takutnya ada salah paham bahwa masalah agama dibawa ke lingkungan gereja. Ternyata, nyatanya enggak seperti yang dibayangkan. Kita sama-sama mengetahui, kalau Ramadhan ya sama-sama menghargai," ungkapnya yang memakai ikat kepala dari kain sorban itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Laurensius Tangsel, Fransiskus Hartapa menuturkan, pihaknya tidak pernah mempersoalkan aktivitas puasa yang dijalankan pegawai muslim di tempatnya.

"Untuk yang muslim ya enggak masalah, mereka tetap bisa menjalankan ibadahnya, sholat dan sebagainya secara bebas. Monggo, itu ibadah masing-masing. Bahkan kita saling mengingatkan kalau waktunya sholat dan waktu Jumatan pun di suruh Jumatan," katanya.

 

 
Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]
Gereja Santo Laurensius Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Sabtu (17/4/2021). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]

 

Bahkan, kata Hartapa, menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, biasanya ada beberapa umat yang membawa bingkisan THR dan memberikan kepada para pegawai muslim di sana.

"Sejak saya di sini pada 2007, kalau tiga minggu puasa itu biasanya banyak umat yang bawa bingkisan THR untuk para pegawai. Kalau saya perhatikan setiap tahunnya selalu begitu, kemungkinan tahun ini juga akan begitu," pungkasnya.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Diterbitkan di Berita

Dian Utoro Aji - detikNews Jepara - Sebuah masjid dan gereja saling berhadapan di Jepara, Jawa Tengah. Keduanya pun menjadi saksi bisu keharmonisan umat muslim dan kristiani di Jepara.

Masjid dan gereja tersebut berada di Desa Tempur Kecamatan Keling. Masjid itu bernama Nurul Hikmah dan Gereja Injili Tanah Jawa.

Untuk sampai di lokasi cukup jauh dari pusat kota Jepara. Jaraknya sekitar 50 kilometer atau sekitar 1 jam 32 menit. Belum lagi lokasi dari Kecamatan Keling menuju Desa Tempur cukup ekstrem dan menikung. Sebab letak Desa Tempur berada di lereng Gunung Muria.

Meski cukup ekstrim namun keindahan alam masih alami. Ditambah suasana pedesaan, menjadi daya tarik sendiri untuk datang ke Desa Tempur. Masjid dan gereja tersebut berada di Dukuh Pekoso Desa Tempur.

Pendeta gereja Injili Tanah Jawa Desa Tempur, Suwadi mengatakan kedua tempat ibadah tersebut dibangun terlebih dahulu gereja daripada bangunan masjid. Bangunan gereja didirikan sejak tahun 1988.

Suwadi mengatakan dulu sebelum ada gereja masyarakat kristiani menjalankan ibadah di rumah. Hingga akhir warga bergotong-royong mendirikan gereja di Desa Tempur. "Terus lama-lama ada renovasi gereja sampai sekarang itu. Dulunya di rumah tahun 1986," ungkapnya.

Sedangkan pembangunan masjid baru tahun 2003. Pengurus masjid tersebut adalah kakak kandung Suwadi bernama, Giran Hadi Sunaryo.

"Lokasi memang gereja dan masjid, yang masjid itu kan kakak saya. Masjid kakak saya, gereja adik, saya sendiri. Saudara kandung. Gereja yang dulu, tahun 2003 masjid nyusul," ungkap Suwadi.

Suwadi mengatakan selama ini meski lokasi bersebelahan justru rasa toleransi masyarakat cukup tinggi. Kedua umat islam dan kristiani bahkan saling bantu membantu.

"Masalah toleransi orang sini sangat bagus sampai sekarang. Andai kata gereja ada renovasi, umat muslim ya ikut bergotong-royong, ya tenaga ya nyumbang semen. Ya nanti kalau masjid bangun begitu juga, umat kristiani ya ikut andil masalah pembangunan juga," kata Suwadi.

Tidak hanya itu, saat perayaan hari besar pun kedua umat tersebut saling menghormati. Suwadi mencontohkan saat perayaan hari raya idul fitri, serambi masjid penuh sehingga pihak gereja menyediakan tempat.

"Kalau ada hari besar, misalnya saat Natal, gereja tidak muat, ya di serambi masjid. Kalau masjid ada lebaran, bisa di gereja," ucapnya.

Pengurus Masjid Nurul Hikmah, Abu Abdillah mengatakan kedua umat muslim dan kristiani di Desa Tempur saling bertoleransi. Menurutnya tidak pernah ada konflik meski lokasi masjid dan gereja bersebelahan.

"Ya di antaranya dua tempat ibadah ini ya saling toleransi, saling tolong menolong. Bantu membantu. Ya rukun-rukun saja, tidak saling berpendapat lain, kalau ada kerja bakti.

Misalkan masjid membangun, dari orang kristiani membantu tenaga, tapi sebaliknya kalau gereja membangun, dari umat islam juga saling membantu. Saling kerja samalah," kata Abu.

Abu menceritakan pernah suatu ketika perayaan besar umat islam dan kristiani bersamaan. Keduanya pun saling menghormati saat perayaan hari besar.

"Pernah hari raya dan Natal hampir sama. Itu di antara orang Islam bisa menjaga diri jangan sampai menganggu, kristiani juga jangan menganggu agama lain. Saling menghormati," ucapnya.

Kades Tempur, Mariyono menuturkan Desa Tempur termasuk desa yang memiliki rasa toleransi tinggi. Di desa tersebut mayoritas beragama Islam. Meskipun perbedaan keyakinan namun bisa hidup secara berdampingan.

"Tempur termasuk desa toleransi sangat tinggi, karena di wilayah presentasi 98 persen adalah Islam. Dan sisanya Kristen," terang dia.

Menurutnya di Desa Tempur terdapat 3.575 jiwa dan ada enam dukuh. Masyarakat secara administrasi beragama Islam dan Kristen. Menurutnya selama ini tidak ada konflik di lingkungan masyarakat.

"Secara administrasi di kependudukan hanya dua, Islam dan Kristen. Di tempur ada enam dukuh. Jumlah jiwa saat ini 3.575 jiwa. Untuk sampai saat ini itu konflik tidak ada dengan latar belakang agama. Itu terbukti kami hidup berdampingan," pungkasnya.

(mbr/mbr)

Diterbitkan di Berita

Ini 10 Kota Toleran Versi Setara Institute

Jumat, 26 Februari 2021 09:07

Abdul Aziz Mahrizal Ramadan SuaraMalang.idSetara Institute mengumumkan 10 kota dari total 94 kota dengan tingkat toleransi tinggi di Indonesia, Kamis (25/2/2021). 

Sepuluh kota toleransi paling tinggi versi Setara Institute, yakni Kota Salatiga dengan Skor (6.717), Kota Singkawang (6.450), Manado (6.200), Tomohon (6.183), Kupang (6.183), Surabaya (6.003).

Selanjutnya, Kota Ambon (5.733), Kediri (5.583), Sukabumi (5.546) dan Kota Bekasi (5.530). Irjen Kemendagri, Tumpang Haposan Simanjuntak, mengapresiasi 10 Wali Kota yang berhasil menjaga toleransi di kota yang dipimpin masing-masing.

"Penghargaan bidang administrasi pembangunan keuangan daerah sudah biasa, tetapi penghargaan dari Setara institut sebagai lembaga independen, sangat mumpuni karena melalui pendekatan ilmiah," katanya, seperti dikutip dari ANTARA, Kamis.

Ia melanjutkan, keberhasilan sepuluh wali kota di Indonesia dalam menjaga toleransi di daerah, bisa menjadi rujukan bagi daerah lain. Utamanya dalam mendukung konsep toleransi dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Sepuluh wali kota ini telah memimpin kota dengan baik dan mendapat penghargaan dari Setara Institute yang merupakan lembaga independen dengan memakai sejumlah variabel atau data," urainya.

Sebelumnya, Setara Institute melakukan penelitian menggunakan sejumlah variabel sistemik di kota yang mempengaruhi perilaku sosial antaridentitas dan entitas warga kota yang meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah kota, tindakan aparatur pemerintah kota, perilaku entitas warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi dalam heterogenitas demografi warga kota.

Selain itu, pemilihan kota sebagai objek kajian, didasari pada komposisi penduduk di perkotaan lebih heterogen di banding kabupaten.

Diterbitkan di Berita

MerahPutih.com - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan selamat Hari Raya Imlek tahun 2021. Muhammadiyah mendoakan agar kegiatan Imlek Nasional (Imleknas) yang digelar Sabtu (20/1) mendatang secara vitual berjalan lancar.

Masih dalam momentum Imlek 2572 ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, masyarakat harus saling menghormati dan menghargai sebuah perbedaan.

"Hari Raya Imlek ini, terus bersama kami menyuarakan pesan-pesan Ilahi untuk kehidupan bersama saling toleran, saling peduli dan berbagi," ucap Haedar yang dikutip dari medsos Instagram Imleknas.

Haedar mengatakan, Muhammadiyah bersama seluruh golongan agama dan komponen bangsa senantiasa menjalin kebersamaan dan akan terus menyuarakan nilai-nilai keagamaan.

"Yang menyelamatkan, mendamaikan, menyatukan dan membawa kemajuan bangsa," papar dia.

 

Sejumlah warga keturunan Tionghoa di Bandarlampung tengah memanjatkan doa dalam ibadah Imlek di wihara Thay Hin Bio. (ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi)
Sejumlah warga keturunan Tionghoa di Bandarlampung tengah memanjatkan doa dalam ibadah Imlek di wihara Thay Hin Bio. (ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi)

 

Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengajak masyarakat dari semua golongan untuk gotong royong dan bergandengan tangan untuk memajukan Indonesia.

"Dan mencerahkan semesta. Doa adalah kekuatan rohani dan pesan langit yang harus terus lantunkan dan suarakan dalam ekspresi peran agama dan umat beragama yang lahirkan kebaikan semesta," ungkapnya.

Adapun kegiatan Imlek Nasional 2021 digelar secara virtual pada Sabtu (20/2) mendatang pada pukul 09.00 WIB. Dikabarkan Presiden Jokowi akan hadir dalam Imleknas ini.

Masyarakat berkesempatan mengikuti Imleknas 2021 melalui penayangan langsung secara daring di Kompas TV, Daai TV, serta akun Youtube Imlek Nasional. (Asp)

Penulis : Asropih 
Diterbitkan di Berita

Merdeka.comToleransi merupakan cerminan dari sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Berbagai perbedaan yang ada harus disikapi secara bijak saling menghormati. Dengan begitu harmonisasi sesama anak bangsa diyakini akan muncul mengikis upaya-upaya adu domba.

"Justru dengan perbedaan kita saling melengkapi. Di mana lagi, di dunia ada masyarakat dalam jumlah sangat besar memiliki perbedaan dari warna kulit, wilayah tinggal kepulauan, budaya hingga iklim dan cuaca berbeda menyatu sebagai bangsa," ujar Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati dalam keterangannya, Minggu (14/2).

Lebih lanjut, Dia mengatakan, dengan adanya perbedaan yang bermacam-macam tersebut hanya ada satu kekuatan yang mampu merekatkan seluruh perbedaan fisik, geografis, historis, dan sosiologis yaitu toleransi.

"Toleransi ialah upaya untuk memahami orang lain, salah satunya dengan tidak berkata dan berbuat hal-hal kepada orang lain yang kita sendiri tidak nyaman bila orang lain mengatakan dan melakukannya kepada diri kita," kata Devie.

Menurutnya, dibutuhkan kesabaran dan konsistensi untuk terus mengkomunikasikan filosofi dan praktik dari toleransi ini. Oleh sebab itu, Devie mengatakan, bahwa pemerintah perlu menggandeng para tokoh yang akan didengar oleh setiap kelompok di masyarakat.

"Mengapa dibutuhkan tokoh-tokoh publik? Karena karakter sosial masyarakat Indonesia yang hirarkis, patron - klien yaitu adanya para Patron (individu yang dianggap berada di puncak hirarki) yang dihormati, diteladani hingga diikuti oleh para klien (individu yang berada di posisi bawah dalam hirarki sosial)," jelasnya.

Menurutnya, toleransi termasuk dalam keterampilan sosial dan harus dilatih bukan cuma dihafalkan. Ia menyebut yang menjadi tantangan dari metode pendidikan di Indonesia adalah lebih menekankan kepada upaya menghafalkan bukan mengamalkan.

"Nilai-nilai Pancasila yang di antaranya toleransi tidak pernah dipraktikkan sebagai sebuah amalan, berhenti pada hapalan semata," tuturnya.

Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa nilai toleransi harus dipraktikan. Devie juga berpesan kepada adik-adik siswa di sekolah, bahwa saat ini mereka adalah warga dunia. Berbeda dengan generasi masa lalu yang sangat terbatas untuk tersambung dengan orang dari belahan dunia.

"Dan yang harus diingat, ibaratnya sebuah lagu yang lahir dari nada-nada berbeda bukan hanya nada DO, maka keindahan hidup ini juga terwujud dari perbedaan tersebut," tutupnya. [did]

Reporter : Didi Syafirdi

Diterbitkan di Berita

Warisan Toleransi Sunan Kudus

Selasa, 25 Agustus 2020 19:45

Di seluruh Pulau Jawa hanya ada satu tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab, yakni Kudus.

Diterbitkan di Opini