Berlin, ARRAHMAHNEWS.COM – Otoritas Jerman melarang dan membubarkan kelompok Islam radikal (Salafi, Wahabi dan Khilafah) di Ibu Kota Berlin. Menyusul pelarangan tersebut, sekitar 800 polisi menggerebek 26 lokasi di Berlin dan negara bagian Brandenberg pada Kamis, 25 Februari. Larangan tersebut merupakan salah satu upaya untuk melawan ekstremisme.

Departmen Dalam Negeri Senat Berlin mengatakan, pihaknya telah melarang Jama’atu Berlin, sebuah asosiasi Salafi-Jihad yang dianggap sangat radikal. Kelompok yang juga dikenal sebagai Tauhid Berlin itu dinilai menganjurkan serangan teror.

Dalam konferensi pers, Senator Dalam Negeri Berlin, Andreas Geisel, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengawasi kelompok itu selama dua tahun. Ada 19 anggota kelompok tersebut yang menjadi fokus penggerebekan. Namun, tidak ada penangkapan yang dilaporkan.

Disebutkan juga, kelompok tersebut menolak Konstitusi Jerman dan mendukung ideologi Negara Islam (Khilafah), serta mempropagandakan ‘Jihad’, dan menyerukan syariah sebagai satu-satunya hukum yang sah.
 
Kata Akmann, pihaknya belum mengetahui secara persis apakah kelompok tersebut merencanakan serangan yang konkret. Namun, dia mengaku bahwa penyelidikan masih berlangsung.

Berdasarkan pernyataan Senat, dilansir Reuters, anggota kelompok yang tidak terdaftar tersebut -baik laki-laki maupun perempuan- bertemu secara rutin di taman dan rumah pribadi.

Mereka menyebarkan ideologi kelompok tersebut dengan membagikan selebaran di ruang publik dan melalui internet.  Dilansir DW, kelompok Jama’atu Berlin diyakini memiliki sekitar 20 anggota.

Beberapa di antara telah menarik perhatian di masa lalu setelah membagikan selebaran di beberapa daerah Berlin. Beberapa merupakan anggota kelompok Islamis lainnya yang pernah dilarang pada 2017 lalu.

Mereka telah melakukan kontak dengan Anis Amri, seorang pencari suaka dari Tunisia yang berhubungan dengan kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pada 2016, Amri pernah membajak sebuah truk dan kemudian menabrakkannya di Pasar Natal di Berlin.

Kejadian itu menewaskan 12 orang. Berdasarkan data yang dirilis Badan Intelijen Domestik, jumlah kelompok Salafi di Jerman meningkat ke level tertinggi hingga mencapai 12.150 orang pada 2019. Angka tersebut lebih dari tiga kali lipat sejak 2011. (ARN)

Diterbitkan di Berita

kontraradikal.com

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengaku tidak kaget melihat fenomena artis terpapar paham radikal hingga memutuskan hijrah dan berbaiat kesana.

Bukan saat ini aja, bahkan sejak tahun 2000 sudah banyak artis yang bergabung, bahkan hanya jamaah, tapi mereka para artis itu menjadi leader atau perekrut untuk di lingkungan entertainment. Jelas Ken.

Sebut saja artis DS yang sejak tahun 2000 sudah berhasil merekrut puluhan artis, dan AS juga yang sudah berpangkat Camat ditahun itu juga sudah banyak merekrut kalangan artis.

Bukan hanya berubah secara ideologi saja, para artis yang berpindah haluan mendukung negara Islam atau khilafah juga berubah secara penampilan dan komunikasi, mereka cenderung agamis dan statemen mereka cenderung selalu berseberangan dengan pemerintah.

Terakhir yang membuat kaget publik adalah artis non muslim yang berbaiat ke negara Islam/ khilafah yaitu MS, salah satu Artis Sinetron dan FTV di layar kaca, MS menyatakan siap berjuang menegakan Khilafah.

MS yang sebelumnya beragama Kristen Protestan, setelah berbaiat atau sumpah setia kepada negara Islam, lalu MS diganti nama menjadi Abu Musa.

Hal yang dikhawatirkan Ken adalah, para artis yang terpapar radikal itu mempunyai folower di medos yang cukup banyak, bahkan jutaan, jadi statemen dan gaya hidupnya akan mempengaruhi pengikut di akun medsosnya.

Diakhir wawancana, Ken mengatakan bahwa perekrutan radikalisme itu bisa menimpa siapa saja, mulai kalangan pelajar, mahasiswa, buruh, ASN dan bahkan aparat TNI dan POLRI juga faktanya banyak yang terpapar, Ken pernah mendapat laporan bahwa Anak seorang Kapolda juga ada yang terpapar dan bergabung di kelompok radikal karena direkrut sahabatnya saat kuliah dikampus.

Butuh keseriusan dalam hal pencegahan agar masyarakat tidak terpengaruh dan butuh ketegasan dalam penindakan terhadap orang orang yang terindikasi terpapar paham radikal. Tutup Ken.

Diterbitkan di Berita

Masyarakat ITB yang Retak

Senin, 16 November 2020 16:07

Artikel “ITB Retak, Perlu Diharmoniskan” dapat banyak komentar (https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/itb-retak-perlu-diharmoniskan).  Artikel yang diunggah hari Jumat, 13 November 2020, pukul 22.16, dibaca lebih dari 500 orang pada hari Sabtu, 14 November 2020, pukul 16.28.

Lebih dari 120 orang teman memberi komentar melalui jaringan pribadi (japri), ada beberapa mantan Menteri, ada beberapa mantan rektor, ada beberapa profesor dari ITB, IPB, ITS, Unpad, dan Universitas Islam Bandung. Bahkan ada yang memberi komentar lewat telepon.

Tentu yang paling banyak adalah ucapan terima kasih dan acungan jempol, namun banyak juga yang memberi komentar yang perlu mendapat tanggapan. Tulisan ini adalah tanggapan kepada teman-teman yang memberi tanggapan. Sebagian tanggapan dari pembaca akan saya kutip, untuk memperjelas diskusi yang sedang berlangsung. Perlu diketahui, situs inharmonia.co belum mau membuka saluran komentar secara terbuka, karena banyak pengalaman yang tidak enak yang dapat diamati pada situs-situs yang memberi fasilitas komentar secara terbuka. Salah satu alasannya adalah banyak komentar di situs-situs yang ada yang melampaui batas, sehingga bisa dikelompokkan pada pelanggaran UU ITE. Komentar dari masyarakat yang melanggar UU itu merupakan tanggung jawab pengelola situs, apalagi kalau pengirim komentar menggunakan nama samaran yang sulit dilacak siapa sebenarnya orang itu.

Saya secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada perhatian teman-teman. Saya ingin menyatakan bahwa inharmonia.co menghormati keberagaman dan berikhtiar menggalang kerukunan untuk persatuan.

 

ITB dan Masyarakat ITB

Ada komentar dari beberapa guru besar ITB yang keberatan atas judul “ITB Retak”. Prof. Dr. Eddy Ariono Subroto, mengirim pesan, “Mas, boleh protes? Judul dibuat hanya dengan kata ‘ITB retak,’ sehingga membuat saya ingin membaca. Akan tetapi, di berita, Anda menyebut ‘masyarakat ITB.’ Kata ‘ITB’ yang berdiri sendiri, berarti institusi yang terdiri atas tiga komponen civitas academia, yaitu dosen, tendik (tenaga kependidikan), dan mahasiswa. Tidak ada alumni di situ. Kalau ‘masyarakat ITB’ bisa termasuk alumni. Yang retak adalah alumni, saya yakin sekali, apalagi saat pilpres. Untuk Anda ketahui, kami di ITB rasanya ayem-dingin saja. Sekadar pelurusan interpretasi Mas.”

Selain Eddy, Prof Dr Adang Surahman dan Prof Dr Carmadi Mahbub menyatakan hal sama, bahwa ITB tidak retak.

“Dalam hal ini perlu saya koreksi: ITB tidak  retak. Yang retak adalah alumninya yang mempersoalkan DS (Din Syamsuddin-red). Internal ITB sudah biasa dengan perbedaan pendapat dan kepentingan. Pendapat orang dalam: ngapain sih mereka ngurusin masalah internal ITB, sambil tidak  menguasai masalah. DS berpendapat seperti itu ketika ada di luar. Ketika di dalam (MWA, Majelis Wali Amanat) tidak bicara politik,” kata Adang Surahman.

 

Dua isu: komunisme dan khilafah

Syukurlah jika ITB tidak retak. Tentu saja ada beberapa komentar yang menjelaskan keretakan di ITB. Sesungguhnya masih ada kekhawatiran adanya keretakan dalam masyarakat Indonesia, yaitu masalah komunisme dan khilafah.

Prof. Dr. Didin S Damanhuri dari IPB menyarankan, kalau mau harmoni, lakukan riset tentang gerakan neo-PKI juga. Amati kongres tahunan PKI, rapat ex PKI lama; Berapa banyak tokoh mereka yang ada di DPR, DPRD, pemerintahan, di parpol, lembaga strategis lainnya. “Apa saja produk legislasi pusat dan daerah yang berasal dari pemikiran mereka, apa renstra mereka untuk Indonesia yang akan datang, dst, dst,” kata Prof Didin.

Prof Didin juga mengirim link tentang pendapat Taufik Ismail, Kivlan Zen, dan Prof. Salim Said terhadap komunisme. Taufik Ismail mengungkap kekejaman sejarah kekejaman komunisme di seluruh dunia. Prof Salim Said menuturkan bahwa kader komunis terlatih untuk menyusup, sedangkan Mayor Jenderal (purn) Kivlan Zen mengungkap gerakan komunisme di Indonesia.

Dr. Burhanuddin Muhtadi di kompasTV

“Di (sebuah kongres di Grabag, Magelang) tahun 2010, saya suruh anak saya masuk di situ,” kata Kivlan kepada JawaPos.com, Sabtu (3/3). Kivlan mencium kongres tersebut mengagendakan kebangkitan PKI. Dia juga mengatakan, kelompok simpatisan PKI lainnya pun membuat kegiatan serupa, kembali membangun eksistensi PKI. (https://www.jawapos.com/nasional/03/03/2018/selidiki-pki-bangkit-kivlan-zen-minta-anaknya-nyamar-jadi-simpatisan/).

Semua informasi komunisme, khususnya di Indonesia, perlu dikaji ulang, termasuk penjelasan dari Kivlan Zen. Kivlan Zen adalah tentara, dan wartawan di seluruh dunia dilatih untuk tidak cepat percaya kepada penjelasan tentara, karena militer dilatih disinformasi. (https://inharmonia.co/index.php/saringinfo/saringinfo/militer-dilatih-disinformasi). Kemudian bandingkanlah dengan penjelasan Dr. Burhanuddin Muhtadi di beberapa stasiun televisi.

 

Tahapan membangun Khilafah

Jika Prof. Salim Said menjuluki orang-orang komunis pinter menyusup, orang-orang yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia melakukannya dengan terbuka pada Muktamar Khilafah tahun 2013 di Gelora Senayan, Jakarta, bahkan diliput TVRI Nasional secara penuh.

Seorang teman mengungkapkan 10 langkah FPI menuju Khilafah di Indonesia yang disampaikan Rizieq Shihab, di antaranya adalah pembentukan parlemen bersama dunia Islam, pembentukan pakta pertahanan bersama dunia Islam, penyatuan mata uang Islam, penyeragaman kurikulum pendidikan agama dan pendidikan umum di dunia Islam, pendirian Mahkamah Islam International. (https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/menyimak-militansi-pendukung-khilafah-di-indonesia).

Mengenai masalah khilafah, Prof Didin S Damanhuri menyatakan bahwa dia telah lama mempelajari tentang HTI dan Khilafah, asal muasal dan perkembangannya termasuk di Indonesia. “Saya sudah lama menyimpulkan, di samping mereka tidak realistik, juga tekstualistik, sehingga bisa menyesatkan. Kalau substansial pendekatannya, UUD 1945 sebenarnya sangat Islami. Kasihan umat, dengan move-move mereka,” kata Prof. Didin S Damanhuri.

 

 Demo HTI di Medan                                   (Foto: ANTARA)

Sudut pandang lain

Banyak sekali masukan yang belum bisa saya rangkum dalam tulisan ini. Ada teman yang mengirim dua buku tentang sejarah khilafah di dunia Arab, yang satu 700 halaman, yang satu lagi hampir 1.000 halaman. Ada teman lama waktu di SMA, yang sekarang sudah menjadi kiai, mengirim beberapa ayat Alquran dan penjelasannya.

Di samping masalah komunisme dan khilafah, Dindin S Maolani, SH, melihat dari sudut pandang lain. Dindin adalah aktivis 77/78, aktivis Lembaga Bantuan Hukum, dan sekarang menjadi pengacara di Bandung.

Menurut Dindin, keretakan di ITB dan perguruan tinggi lainnya bukan karena adanya kelompok radikal dan kelompok komunis. “Tapi lebih karena ada yang pro Jokowi dan anti Jakowi. Supaya tidak kelihatan ada yang anti Jokowi dan yang pro maka dimunculkanlah radikal dan komunis. Kalau tidak percaya, nanti kalau Jokowi sudah lengser, ngak akan ada pro-kontra itu, bahkan ngak akan ada keretakan,” kata aktivis LBH Bandung itu.

Dindin menambahkan, image-image itu dibangun dalam bingkai politis agar tidak menohok langsung kepada nama Jokowi. “Makanya kalau ada yang bilang yang radikal itu siapa , apa iya Din Syamsoedin seorang radikalis (buat saya hanya orang tidak gaul dan buta politik kalau menganggap Prof Din  seorang radikalis), demikian juga ketika ada pertanyaan tentang komunis di ITB  (buat saya sebelum ada faktanya itu hanya ilusi kecuali, kalau mengatakan ada komunis di Senayan dan PDIP, itu tidak terbantahkan).  Barangkali KAPPAK ITB bukan utk mewaspadai ada komunis di ITB ,” tutur Dindin S Maolani.

Demikianlah sebagian sudut pandang tentang isu komunisme dan khilafah kepada saya. Tentu pandangan ini akan bisa ditambah, yang penting kita harus memperhatikannya dengan cermat, khususnya dilihat dari fakta dan sudut pandangnya. Yang terpenting adalah faktanya. Apakah kita sedang membicarakan fakta yang sama? Soal sudut pandang berbeda itu sangat wajar. Gelas yang ada airnya setengah, dapat dipandang bahwa air dalam gelas itu tinggal sedikit, sedang orang lain memandangnya bahwa bahwa gelas itu masih banyak airnya. Perbedaan pandangan menentukan perbedaan pilihan, tetapi kalau bisa, tidak perlu ada permusuhan. Kalaupun tetap ada konflik, selesaikan dengan musyawarah, secara politik, atau melalui jalur hukum. Jangan main hakim sendiri.***

(Muhammad Ridlo Eisy adalah Pemimpin Redaksi inharmonia.co.)

 

 

 

Diterbitkan di Opini

ITB Retak, Perlu Diharmoniskan

Jumat, 13 November 2020 22:16

ITB retak, tidak bersatu lagi. Keretakan ini terlihat dari perbedaan pandangan tentang posisi Prof. Dr. Din Syamsudin di Majelis Wali Amanah ITB.

Gerakan Anti Radikalisme ITB menuntut Prof. Din tidak menjadi anggota MWA ITB lagi, tetapi Keluarga Alumni Penegak Pancasila Anti Komunis (KAPPAK) ITB mempertahankannya. (https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5148064/alumni-itb-terbelah-dua-soal-posisi-din-syamsuddin-di-mwa).

Sesungguhnya kasus keanggotaan Prof. Din di MWA ITB hanyalah pucuk gunung es keretakan masyarakat ITB. Keretakan yang sesungguhnya lebih mendalam, dan mirip dengan keretakan yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Kata kunci keretakan itu terlihat dari kata anti radikalisme dan anti komunis di ITB. Ada kelompok yang melihat ada radikalisme di ITB, dan ada kelompok yang melihat ada orang-orang komunis di ITB yang harus dilawan.

Siapa yang radikal di ITB? BNPT dan BIN pasti tahu, mereka telah menyatakan bahwa beberapa perguruan tinggi di Indonesia terpapar radikalisme. Yang menarik adalah sinyalemen adanya komunis di ITB. Kalau tidak ada komunis di ITB, tentu alumni ITB tidak membentuk KAPPAK.

Ketika masalah komunis di Indonesia ini saya tanyakan kepada presidium KAPPAK, Erry Nirbaya menjawab: “Patokan hukum yang saya pakai dan masih berlaku adalah Tap MPRS XXV/1966 dan UU no 27/1999. Sepanjang patokan hukum tersebut masih diberlakukan oleh negara, yaa kita ikuti saja dengan pemahaman bahwa Negara masih memandang perlunya Hukum tersebut dipertahankan.”

Saya tidak bertanya kepada KAPPAK, siapa saja orang komunis di ITB. Untuk itu saya mencari topik komunisme di luar ITB. 

Radikalisme dan Komunisme

Dari pengamatan dan berbagai percakapan, menunjuk kelompok radikal akan lebih mudah daripada menunjuk kelompok komunis di Indonesia. Radikalisme dimulai dari sikap intoleran, dan diakhiri dengan tindakan terorisme. Sebelum dilanjutkan, yang dimaksud radikalisme dalam tulisan ini adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang menolak secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik yang ada dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan. (https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan-pencegahan-radikalisme.html).

Sebagian aktivis GAR ITB menyebutkan bahwa sikap intoleran itu ditunjukkan dengan penggunaan istilah anti komunis. Istilah anti komunis adalah bukti dari intoleran. Kelompok itu menganggap bahwa orang yang tidak sependapat dengan kelompoknya adalah komunis. Di dalam masyarakat Islam, ada juga kelompok yang mengkafirkan orang Islam lainnya, karena pemahaman terhadap ajaran agama Islamnya tidak sama dengan apa yang dipahaminya.

Apakah komunisme masih ada? Masih ada, di perpustakaan, di buku-buku. Namun sejarah mencatat bahwa komunisme adalah ideologi yang gagal, yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet, 26 Desember 1991. Walaupun komunisme sudah bangkrut, kata Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, tetapi menarik untuk dijadikan isu kampanye. (Silakan simak https://www.youtube.com/watch?v=LN6g3JsZZ-s  yang ditayangkan Kompas.tv 23 Sep 2017).

Posttruth komunisme selalu menarik dalam pemilu. Ada calon gubernur di Indonesia kalah, karena isu komunisme. Presiden Brazilia menang karena menggunakan isu komunisme dalam pemilihan presiden. Donald Trump juga menggunakan isu komunis waktu pilpres tahun ini. Joko Widodo juga diisukan sebagai orang PKI, namun isu itu tidak berhasil mengalahkannya waktu Pilpres 2014 maupun 2019. (Selanjutnya baca, https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/post-truth-komunisme-sedang-laris).

 

Di luar KAPPAK ITB ada Gerakan Umat Islam Penyelamat Pancasila Dan Anti Komunis. Gerakan ini menyoroti Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP). Isu yang berkembang adalah RUU HIP disusupi ideologi komunis, oleh karena itu pembahasannya harus dihentikan, dan partai-partai yang mengusungnya harus diusut. Gerakan ini mengancam akan menduduki DPR RI, dan akan meminta Sidang Istimewa MPR untuk menurunkan Presiden Joko Widodo dari jabatannya, kalau tidak menolak RUU HIP. (https://www.youtube.com/watch?v=R3rFp4VFtVc ).

Begitu ramai pembahasan RUU HIP. Pemerintah dan DPR sepakat mengalah (https://www.youtube.com/watch?v=H7XCSlmlLI8) dan memberikan waktu kepada masyarakat untuk mempelajari RUU HIP, dan pemerintah pun akan merevisi RUU HIP agar kontroversi berkurang. Masyarakat bisa menyimak pembahasan RUU HIP pada situs DPR RI, http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/248.

Isu komunis memang menarik di Indonesia, sehingga Kompas.tv melakukan reportase khusus secara bersambung, https://www.youtube.com/watch?v=4p_DTkqrHEg. Yang menarik dari peliputan isu komunis itu, ternyata ada semangat sekelompok masyarakat untuk mendirikan khilafah. Harus diakui militansi pendukung khilafah di Indonesia sangat mengagumkan, sampai muncul video “Jejak Khilafah di Nusantara”

Apa yang terjadi dengan khilafah?

Ujung dari radikalisme yang dikhawatirkan adalah pendirian khilafah. Ada dua kelompok pendukung khilafah di Indonesia, yaitu FPI dan HTI. Rizieq Shihab menyatakan FPI masih membolehkan pendukungnya untuk menjadi anggota parlemen, tetapi tidak boleh menghalalkan demokrasi. Masuk parlemen karena darurat, sedangkan HTI menolak demokrasi untuk menegakkan khilafah. (https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/menyimak-militansi-pendukung-khilafah-di-indonesia). 

 

Cara FPI dalam mendirikan khilafah seharusnya dimulai dengan mendirikan partai politik, kemudian ikut pemilu, dan menang baik di DPR, DPD maupun dalam Pemilihan Presiden. Setelah itu mengubah konstitusi yang berlaku sekarang ini (UUD 1945) dengan konstitusi khilafah. Sedangkan jika cara HTI yang dilakukan, maka pergantian sistem pemerintahan dan orang-orangnya (dari Presiden sampai ke DPR dan DPD) tidak menggunakan cara demokrasi. Salah satu cara pergantian kepemimpinan negara dan sistem pemerintahan di luar cara demokrasi adalah dengan cara kudeta.

Kemudian muncullah cita-cita satu khilafah untuk seluruh dunia. Jika khilafah itu dimulai dari Indonesia, pertanyaannya adalah jika Malaysia tidak mau bergabung dengan khilafah di Indonesia, setelah semua ikhtiar diplomasi dilakukan, apakah harus diserang dan diduduki? Jika Arab Saudi tidak mau bergabung dengan khilafah di Indonesia, apakah harus diserang dan diduduki juga? Demikian seterusnya.

Masih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan khilafah. Khilafah pasti akan menggunakan hukum Islam. Mazhab apa yang diberlakukan? Di manakah ibukota khilafah nanti? Tetap di Indonesia, atau pindah ke Istanbul, atau kota lain? Siapa yang jadi kholifah nanti? Bagaimana cara penggantian kholifah nanti? Dahulu sering terjadi pergantian kholifah dilakukan dengan cara membunuh kholifahnya. Bagaimana cara pergantian kholifah dengan pembunuhan bisa dihindarkan?

Ikhtiar harmonisasi

Itulah sebagian keretakan yang ada di Indonesia. Apakah keretakan di ITB berikut akarnya di masyarakat Indonesia bisa diharmoniskan? Pandangan warga masyarakat boleh tetap berbeda, tetapi masyarakat bisa hidup bersama dengan harmonis? Belajar dari pengalaman perbedaan agama dalam masyarakat. Anggota masyarakat bisa bertetangga dengan baik, walaupun ada perbedaan agama dalam masyarakat itu. Masing-masing orang merdeka memeluk agamanya, tanpa harus ada pemaksaan, dan hidup bertetangga dengan nyaman.

Alangkah indahnya jika ITB bisa melakukan harmonisasi di lingkungannya sendiri, dan kemudian dijadikan model harmonisasi di seluruh nusantara. Kita boleh berbeda-beda, dan tidak perlu orang berubah seperti orang lain, tetapi bisa hidup bersama dalam keragaman seperti motto ITB “In Harmonia Progressio”, maju secara bersama-sama dalam kerukunan.

Mungkin pada saatnya, dalam waktu dekat, GAR dan KAPPAK, tidak nampak di ITB lagi. Mari mulai membuka diri, tidak apriori, kemudian menerima perbedaan secara alamiah. Mari kita cari formula bersama-sama untuk membangun kerukunan di ITB dan di seluruh nusantara. Kalau sampai Indonesia retak dan pecah, mungkin lebih parah dari Yugoslavia atau Suriah.***

(Muhammad Ridlo Eisy, Pemimpin Redaksi inharmonia.co.)

Diterbitkan di Opini

Menguak Propaganda Hizbut Tahrir di Indonesia

Selasa, 22 September 2020 05:53

Menguak Propaganda Hizbut Tahrir di Indonesia

Diterbitkan di Opini

Film “Jejak Khilafah di Nusantara” (JKDN) adalah bukti militansi, keuletan dan “kreativitas” pendukung khilafah di Indonesia.

Diterbitkan di Opini