Salah kaprah Habib

Istilah habib sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia semenjak dahulu. Meski demikian ternyata cukup banyak orang Indonesia yang salah kaprah mengartikan istilah ini.

Sebagian masyarakat hingga saat ini masih saja ada yang mengira bahwa habib adalah sebutan untuk keturunan Rasulullah SAW. Padahal sejatinya bukan seperti itu. Sebutan habib sebenarnya adalah budaya khas suku Ba’alwi yang tidak terdapat pada suku bangsa lain.

Gelar habib hanya ada di negeri asal Ba’alwi, yakni daerah Hadramaut di Yaman dan negara-negara tujuan migrasi mereka terutama di wilayah Nusantara. Sedangkan di negara Arab lain seperti Arab Saudi, Iraq, Lebanon, Suriah, Maroko, Mesir dan lain-lain tidak ada orang Arab setempat yang dipanggil habib.

Orang yang pertama kali menyandang gelar habib adalah Umar bin Abdurrahman al-Atthos yang hidup di Hadramaut pada era abad 17 M.

Semenjak itu julukan habib di kalangan suku Ba’alwi semakin sering disematkan kepada keturunan suku Ba’alwi yang sudah sepuh, alim (berilmu) dan berperilaku sholeh. Dengan kata lain habib adalah sebutan untuk ulama Hadramaut dari Ba’alwi.

Sebutan habib sesungguhnya setara dengan sebutan kyai di Jawa, ajengan di Pasundan, lora di Madura, tuan guru di Lombok, atau buya di Minangkabau.

Klaim yang masif dan terus menerus yang dilakukan oleh komunitas Ba’alwi di Indonesia bahwasanya habib adalah keturunan jalur laki-laki Rasulullah SAW membuat pengertian habib juga bergeser. Arti dari kata “habib” yang secara tekstual adalah “kekasih” berubah menjadi “keturunan Nabi Muhammad”.

Lantas timbul pengertian bahwa siapapun selain yang dipanggil habib bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Tentu saja ini merupakan salah kaprah akut.

Panggilan habib itu mutlak milik suku Ba’alwi. Sedangkan keturunan Rasulullah sejak zaman dahulu biasa dipanggil dengan gelar Sayyid dan Syarif.

Tak mengherankan pada saat ini bila ada orang yang mengaku-ngaku dzurriyyah Nabi Muhammad padahal terbukti bukan, maka dia akan dilabeli sebagai “habib palsu”. Padahal pengertian yang benar dari “habib palsu” adalah orang yang mengaku sebagai keturunan Ba’alwi akan tetapi bukan keturunan mereka.

Seiring perjalanan waktu dan perubahan sosial budaya yang terjadi di Indonesia, muncul fenomena ganjil dalam masyarakat, yakni kebiasaan memanggil semua laki-laki suku Ba’alwi dengan sebutan habib. Tidak peduli apakah dia masih balita ataupun orang tersebut jauh dari sifat alim dan sholeh.

Sepertinya fenomena ini baru terjadi setelah era tahun 90an. Dahulu pada tahun 70an tidak ada orang yang memanggil Ahmad Albar (penyanyi rock terkenal) dengan panggilan Habib Ahmad Albar, atau Fahmy Alhady (pemilik Tanamur, diskotek terbesar di Asia Tenggara) dengan panggilan Habib Fahmy Alhady, padahal mereka berasal dari keturunan Ba’alwi.

Ba’alwi yang beragam

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah habib atau habaib (kata jamak dari habib), karena makna dari habiib (maf'ul) adalah orang yang dicintai (kekasih). Lebih dari itu kalangan Ba’alwi kadang mengartikan habib sebagai orang yang mencintai umat, kalau dibaca haabib sebagai fa'il. 

Sayangnya belakangan ini panggilan habib tercemar gegara ulah dari sebagian keturunan Ba’alwi berperangai buruk, sehingga komunitas Ba’alwi yang berperilaku baik turut terkena getahnya.

Semua suku bangsa di dunia ini sebenarnya heterogen baik sifat, perilaku maupun pemikirannya, tak terkecuali suku Ba’alwi. Ada yang alim dan sholeh, ada pula yang bodoh dan jahat. Bahkan bisa dibilang perbedaannya sangat kontras. Ada diantara mereka yang waliyullah, ada pula yang fasiq perilakunya atau bahkan kafir.

Agama, aliran agama dan ideologi yang dianut suku Ba’alwi pun bervariasi. Sebagian mereka beragama Islam Sunni. Namun tidak sedikit dari suku Ba’alwi yang beraliran Syi’ah seperti Habib Abdillah Ba’abud (Ketua DPW ABI Jatim) dan Habib Umar Shihab. Ada yang beraliran Wahabi seperti Habib Muhammad Sami Syihab (dosen LIPIA) dan Habib Salim Muhdhor.

Anggota suku Ba'alwi pun ada yang beragama kristen, seperti pendeta Thomas Assegaf dan Fadilah Baraqbah yang murtad dari Islam.

Di Brasil ada Ba'alwi beragama Katolik Maronit yang pernah menjadi calon presiden bernama Fernando Haddad, cucu dari Khoury Habib Haddad seorang pendeta gereja Kristen ortodoks Siria Timur di Lebanon 

Bahkan secara ideologis ada Ba'alwi yang berafiliasi dengan komunisme Marxisme-Leninisme, seperti Haidar Abu Bakar al-Attas (mantan Perdana Menteri Republik Yaman), Abdulrahman Assegaf (Sekjen Partai Sosialis Yaman).

Sejarah mencatat, Yaman Selatan (termasuk di dalamnya Propinsi Hadramarut) adalah negara di dunia Arab atau kawasan Timur-Tengah satu-satunya yang menerapkan ideologi Komunis.

Di Indonesia sendiri dikenal tokoh PKI yang pada tahun 1948 memberontak kepada pemerintah Indonesia bernama Musso yang identitas aslinya adalah Musa Munawar. Salah seorang anak dari Musso adalah Muhammad al-Gadri yang juga terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Muhammad al-Gadri berpindah agama menjadi Kristen dan mengubah namanya menjadi Paulus al-Gadri. Mereka berdua adalah tokoh komunis keturunan Ba’alwi meskipun ibunya orang Jawa.

Selain itu juga dikenal tokoh PKI bernama DN Aidit yang menurut penuturan anaknya mereka itu bermarga Aidid, masih keturunan Hadramaut dari Ba’alwi, meskipun dengan alasan masalah kemiripan nama keterkaitan ini dibantah oleh Rabithah Alawiyah.

Di Kalimantan ada pula gembong PKI lainnya dari kalangan Ba’alwi, yaitu Fahrul Baraqbah dari Kalimantan Timur dan Ahmad Sofyan Baraqbah di Kalimantan Barat. 

Selain komunisme, ideologi terorisme juga dianut oleh sekelompok Ba'alwi. Habib Husein Ali Alhabsy dan Habib Abdul Qodir Alhabsy pada tahun 1985 mengebom Candi Borobudur dibantu oleh Habib Muhammad Aljawad dan Habib Achmad Muladawila.

Pada tahun 2002 Umar Al Faruq alias Mahmud bin Ahmad Assegaf pemimpin jaringan teroris Al Qaidah di Asia Tenggara ditangkap di Bogor oleh aparat intelijen Indonesia lalu diserahkan ke CIA. Tokoh teroris dunia keturunan Ba'alwi ini tewas pada tahun 2006 oleh pasukan Inggris di Irak. 

Di sisi lain sejumlah ulama pendatang dari negeri Yaman pada zaman dahulu dikenal sebagai orang alim dan santun perilaku dan tutur katanya. Oleh karena itu masyarakat Islam tradisional di Indonesia sangat menghormati mereka karena budi pekerti dan ilmu yang dimilikinya.

Diantara ulama-ulama besar min auliya’illah itu adalah Habib Husain bin Abu Bakar al-Aydrus di Luar Batang (meninggal 1756 M), Habib Abu Bakar bin Alwi Bahsan Jamalullail di Mangga Dua (meninggal 1811 M), Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (meninggal 1968 M) dan lain-lain.

Kontroversi Nasab Ba’alwi

Polemik nasab Ba’alwi dua tahun terakhir ini bergulir bak bola salju yang menggelinding cepat dan berkembang menjadi semakin liar. Alasan penolakan kesahihan nasab Ba’alwi sebagai keturunan (dzuriyyah) Nabi dipicu salah satunya oleh tesis KH. Imaduddin Utsman al-Bantani yang diterbitkan pertama kali pada Oktober 2022.

Penelitian Kyai Imaduddin ini kemudian mendapat banyak dukungan data-data tambahan, informasi dan narasi baru dari pakar nasab, pakar sejarah, pakar filologi dan pakar genetika. Tentu saja hal ini juga mengundang berbagai penyangkalan keras dari orang-orang yang menentangnya.

Begitu ramainya dukung-mendukung menjadikan diskursus nasab ini diwarnai beragam framing, narasi, cacian dan sikap saling merendahkan. Hal ini sebenarnya merugikan karena permasalahannya melenceng dari tema semula, yaitu benarkah para habib Ba’alwi keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan.

Meskipun saat ini banyak mendapat tentangan kaum Ba’alwi bersikukuh mendaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Doktrin ini sebenarnya ditanamkan secara turun temurun di kalangan mereka beserta para pengikutnya yang populer disebut sebagai muhibbin.

Silsilah suku Ba’alwi (Bani Alwi) dimulai dari kakek mereka yang bernama Alwi bin Ubaidillah.

Dari Alwi inilah sebenarnya tercetus istilah Ba’alwi (bin Alwi/ bani Alwi), meskipun mereka lebih suka menyebut dirinya Ba’alawi. Padahal sebenarnya lebih tepat disebut Ba’alwi (bani Alwi), bukan bani Alawi.

Menurut penuturan mereka, ayah Alwi, yakni Ubaidillah, adalah anak Ahmad bin Isa. Selengkapnya nasab Alwi kepada Nabi Muhammad SAW, menurut Rabithah Alawiyah, adalah sebagai berikut:

Alwi (w.400 H) bin Ubaidillah (w.383 H) bin Ahmad (w.345 H) bin Isa al-Naqib (w.300 H) bin Muhammad al-Naqib (w.250 H) bin Ali al-Uraidi (w.210 H) bin Ja’far as-Shadiq (w.148 H) bin Muhammad al-Baqir (w.114 H) bin Ali Zainal Abidin (w.97 H) bin Sayidina Husain (w.64 H) bin Siti Fatimah az-Zahra (w.11 H) binti Nabi Muhammad SAW. (w.11 H)

Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani menyangkal silsilah ini. Dia adalah orang pertama di Indonesia yang berani terang-terangan menyatakan bahwa kaum Ba’alwi bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Namun sebenarnya sudah banyak ulama dari masa ke masa yang mengingatkan masyarakat perihal gugurnya nasab Ba’alwi yang mengaku keturunan Nabi SAW dari jalur lurus laki-laki. Misal Syarif Makkah (Penguasa Mekkah era Turki Utsmani) Sayyid Aun ar-Rafiq al-Hasani pada abad 19, juga Sayyid Ali at-Tanthawi al-Husaini dari Al Azhar tahun 1985.

Teguran secara Ilmu genetika, pun pernah dilakukan, misal oleh ahli genetika Yaman, Abdullah al-Shuaibi. Bahkan dia dengan tegas menyebut Ba’alwi bukan orang Arab dan sebagai klan keluarga keturunan Yahudi Ashkenazi.

Menurut Kyai Imaduddin, berdasarkan penelitian terhadap kitab-kitab klasik dan manuskrip yang berhubungan dengan klaim nasab Ba’alwi, ditemukan fakta bahwa nasab Ba’alwi baru ditulis oleh Ali asy-Syakran sekitar abad 9 atau 10 Hijriyah (abad 16 M).

Terdapat jeda waktu yang sangat lama, yakni sekitar 500-550 tahun sejak masa hidup Ahmad bin Isa yang mereka beri gelar al-Muhajir hingga ke masa penulisan nasab Ba’alwi oleh Ali as-Syakran.

Kalangan Ba’alwi membantah bahwa Ali as-Syakran adalah yang pertama menyebut nama Ubaidillah. Dikatakan bahwa Ubaidillah sudah pernah disebut pada abad 8 Hijriyah oleh Al Janadi (w. 732 H) dalam kitab As Suluk. Kalaupun klaim ini benar maka jeda waktunya juga masih kisaran 400 tahun.

Ulama lain seperti KH KRT Nur Ikhyak Hadinegoro dan KH Alawi Nurul Alam malahan menyatakan bahwa jeda waktunya lebih lama lagi, yakni kisaran 600 tahun, karena sosok Ahmad bin Isa yang oleh Ba’alwi ditokohkan sebagai “Imam Ahmad al-Muhajir Ilallah” dan diklaim sebagai seorang imam muhaddits dan mujtahid mutlak ternyata merupakan tokoh fiktif dalam ilmu Rijalul Hadits. 

Kyai Imaduddin juga menunjukkan sebuah fakta bahwa Ahmad bin Isa tercatat tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah atau Abdullah, sedangkan dalam catatan nasab Ba’alwi diklaim bahwa Ahmad bin Isa adalah ayah Ubaidillah.

Kitab Syajarah Mubarakah yang ditulis pada abad ke-6 H menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga orang: Muhammad, Ali dan Husain, dan tanpa menyebutkan Ubaidillah.

Ahmad bin Isa bahkan tidak pernah hijrah ke Hadramaut Yaman melainkan di Iraq dan dimakamkan di sana. Karena itu, Ubaidillah yang diklaim sebagai kakek moyang kaum Ba’alwi, diyakini merupakan tokoh fiktif, sebab selain dia bukan anak Ahmad bin Isa ar-Rumi, ketokohannya yang diklaim sebagai seorang imam mujtahid juga tidak ditemukan dalam kitab-kitab nasab dan manuskrip-manuskrip satu zaman yang terverifikasi.

Hingga saat ini Ba’alwi tidak dapat menunjukkan kitab-kitab dari abad 4, 5, 6, 7, 8 H yang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah anak dari Ahmad bin Isa ar-Rumi.

Kaidah andalan para pembela nasab Ba’alwi adalah adanya kondisi “syuhrah wal istfadhah” atau “tenar dan viral” selama ratusan tahun, sehingga semua dalil yang menentang keabsahan nasab dianggap angin lalu.

Dalam kaidah ilmu nasab, Ibnu Hajar dalam kitab al-Jawabul Jalil menyatakan bahwa syuhrah wal istifadhah ada syaratnya, yakni kalau tidak ada yang menentang.

Sedangkan nasab Ba’alwi sudah jelas ada yang menentangnya, bahkan dengan bantahan yang kuat dan dilengkapi dengan data-data yang lebih valid, baik dari kajian literatur maupun hasil uji DNA. Dengan demikian kaidah syuhrah wal istifadhah sudah jelas gugur.

Nasab Ba’alwi dan Uji DNA

Saat ini sudah banyak kitab sejarah klasik maupun manuskrip nasab yang dicari dan dijadikan dasar argumentasi oleh kedua kubu dalam polemik nasab Ba’alwi. Polemik keabsahan nasab Ba’alwi ini bakal terus menerus berkutat dengan membanding-bandingkan teks yang saling bertentangan yang tidak menyelesaikan ataupun mampu menghentikan perdebatan.

Untungnya polemik nasab di Indonesia ini terjadi pada era 2022, dimana saat ini telah terbuka alternatif dalil mutakhir berkaitan dengan nasab, yang hakikatnya berhubungan dengan aspek biologis manusia.

Dalil ini berasal dari sains dan teknologi genetika. Sebuah cabang ilmu pasti yang terukur, yang bisa diuji dan senantiasa disempurnakan dengan pasti.

Bila dibandingkan dengan kajian litaratur yang sifatnya tak pasti, melalui catatan yang belum tentu sahih dan lengkap, yang sifatnya zhanni (sangkaan), bahkan terkadang terjadi penyelundupan atau manipulasi karang-mengarang dan persepsi yang tidak obyektif, maka analisis genetika menjadi dalil yang lebih qath’i karena DNA adalah cetak biru biologis dari Allah SWT yang tidak bisa ditolak.

Kemajuan sains dan teknologi genetika yang luar biasa cepat membuat terobosan baru dalam ilmu genealogi (ilmu nasab) yaitu pembuatan profil DNA dan uji DNA yang kemudian dikombinasikan dengan metode silsilah tradisional untuk menyimpulkan hubungan genetik di antara individu.

Ilmu genetika telah mengubah ilmu nasab yang bersifat zhanni (sangkaan) menjadi ilmu yang rajih (kuat).

Penerapan ilmu genetika ini kemudian segera dimanfaatkan oleh sejarawan keluarga (ahli geneaologi/ nasab) di abad ke-21, sejak uji DNA menjadi terjangkau harganya dan dapat diakses oleh publik.

Sebelum lompatan teknologi genetika terjadi di awal tahun 2000, analisis DNA biayanya sangat mahal dan hanya bisa dilakukan oleh lembaga riset yang sifatnya tertutup.

Sebagai gambaran pada tahun 2006 biaya pengurutan (sequencing) keseluruhan genom manusia adalah USD 13,8 juta (lebih dari Rp. 215 milyar), saat ini dengan cepat turun biayanya menjadi serendah USD 399 (Rp. 6,2 juta).

Biaya uji DNA tertentu, misalnya Y-DNA saat ini bahkan lebih murah lagi, yakni sekitar USD 99  (Rp. 1,6 juta) seperti yang disediakan oleh familytreeDNA.

Hasil uji DNA dari berbagai ras manusia saat ini juga sudah dikumpulkan dalam database publik yang juga dapat dimanfaatkan untuk menelusuri hubungan kekerabatan seseorang. Seperti yang terdapat pada situs web familytreeDNA yang mempublikasi hasil uji DNA Ba’alwi

Hasil tes DNA bisa dijadikan alat validasi dari pengakuan sendiri-sendiri atau pengakuan nasab melalui naqobah (lembaga pencatat nasab).

Namun demikian terobosan teknologi ini masih banyak yang menentangnya, tidak mempercayainya, bahkan mengharamkan penggunaannya. Bukan hanya orang awam yang menentang, tapi ada pula sebagian ulama (penceramah agama) yang sangat anti kepada ilmu dan teknologi genetika sehingga menganggapnya sebagai intrik dari orang Eropa.

Uji DNA memang tidak dapat dipakai untuk mengisbat nasab seseorang, tapi kemajuan sains dan teknologi genetika terkini dapat dipakai untuk menyangkal pengakuan nasab seseorang untuk rentang nasab yang jauh sekalipun.

Salah satu parameter hasil uji DNA yang berhubungan dengan polemik nasab saat ini adalah haplogroup.

Haplogroup adalah penanda permanen kekerabatan antar sepupu. Haplogroup didefinisikan sebagai sekelompok populasi genetik dari manusia yang berbagi moyang yang sama pada jalur paternal (kakek) atau jalur maternal (nenek). Haplogroup yang dapat diketahui melalui kromosom Y dan mt-DNA itu dapat dipakai untuk menelusuri nasab panjang.

Dalam hal kisruh nasab paternal Ba’alwi ini maka konteks haplogroup yang digunakan adalah haplogroup Y-DNA. Antara kakek dan cucu, mereka pasti berada pada haplogroup yang sama.

Demikian juga para sepupu seharusnya berada dalam haplogroup yang sama karena berbagi kakek yang sama. Hubungan antar haplogroup ini mirip sebagaimana percabangan pada pohon filogeni/ cladogram/ haplotree.

Dari haplotree ini terlihat bahwa antara haplogroup J1 dan haplogroup G2 sangat jauh kekerabatannya. Kakek bersama mereka berada pada masa lebih dari 50.000 tahun yang lalu.

Ba’alwi yang mengklaim sebagai dzurriyah Nabi jalur laki-laki lurus (paternal) ternyata hasil uji Y-DNA menunjukkan haplogroup G2. Sementara itu sejumlah kabilah yang terverifikasi secara ketat melalui naqobah-naqobah internasional merupakan dzuriyyah Nabi Muhammad SAW melalui jalur Al Hasani maupun Al Husaini secara konsisten telah terdeteksi dalam uji DNA mempunyai haplogroup J1.

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa haplogroup Bani Hasyim adalah J1. Namun demikian bukan berarti semua orang yang haplogroup Y-DNA nya J1 sudah pasti keturunan Nabi Muhammad SAW. Jika haplogroup seseorang J1 saja belum tentu keturunan Nabi, maka bagaimana mungkin mereka yang bukan J1 keturunan paternal Nabi Muhammad SAW.

Ba’alwi yang mengklaim sebagai dzurriyah Nabi garis laki-laki ternyata hasil uji Y-DNA menunjukkan haplogroup G2.

Haplogroup J dan G dahulunya memang mempunyai kakek bersama yang hidup lebih dari 50.000 tahun yang lalu. Sedangkan Nabi Muhammad hidup pada masa tidak sampai 1500 tahun yang lalu.

Artinya secara garis lurus laki-laki nasab Ba’alwi kepada Nabi Muhammad SAW telah batal karena tidak berada dalam haplogroup yang sama. 

Secara genetika sudah terbukti bahwa suku Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, jadi sebenarnya mereka bukanlah orang Arab, melainkan keturunan dari penduduk Kaukasus yang berpencar hingga ke Hadramaut. Meskipun di Hadramaut mereka sekarang bertutur dengan bahasa Arab, sebenarnya Ba'alwi bukanlah penduduk asli Hadramaut.

Epilog

Batalnya keabsahan nasab Ba’alwi kepada Rasulullah SAW bagi sebagian orang, terutama komunitas Ba’alwi dan muhibbinnya di Indonesia, membawa pukulan sosial yang luar biasa. Selama ini mereka dipuja-puja masyarakat Indonesia.

Mereka menikmati privilege yang sangat besar, kemudian tiba-tiba harus kehilangan kepercayaan dari sebagian besar umat Islam.

Kaum Ba’alwi merasa dirinya sebagai dzurriyyah Nabi Muhammad yang sah, tetapi anehnya seringkali justru klaim ini membuat sebagian habib melenceng dari akhlakul karimah, melenceng dari aqidah dan melenceng dari hukum di Indonesia.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, benarkah mereka keturunan Nabi Muhammad atau hanya mengaku-ngaku saja, dilihat dari perilakunya yang sama sekali tidak sinkron dengan ajaran Rasulullah SAW.

Dewasa ini sudah banyak beredar luas kisah-kisah sepak terjang mereka melalui media sosial. Jejak-jejak digital perilaku tercela mereka banyak bertebaran di internet.

Lihatlah bagaimana oknum habib ceramahnya sarat dengan caci maki dan kata-kata tak senonoh, merendahkan dan menghina orang lain, menyebarkan cerita khurofat tokoh Ba’alwi yang mereka anggap sebagai waliyullah, sehingga menyelewengkan hakikat karomah auliya’ullah yang sesungguhnya, dan dijadikan dongeng-dongeng yang bertentangan dengan akidah Islam.

Adapula yang melakukan tindakan kriminal kemudian mengelak dari hukum dengan alasan dirinya adalah keturunan Nabi Muhammad.

Sebagian habaib juga gemar memalsukan sejarah kebangsaan Indonesia dan sejarah ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama.

Bahkan dengan dibantu sejarawan Belanda mereka mencangkokkan nasab Walisongo kepada Ba’alwi dan berusaha mengecilkan eksistensi keturunan walisongo dengan mengatakan keturunan Walisongo tidak ada sejak 500 tahun lalu

Sebagian lagi giat memalsukan kuburan-kuburan tokoh sejarah atau waliyullah dan menjadikannya sebagai bisnis kotor berkedok wisata religi.  

Tentu saja tidak semua habib melakukan keburukan ini, mereka adalah oknum. Sayangnya jumlah oknum ini semakin lama semakin banyak. Dan lebih disayangkan lagi ada sebagian kalangan umat Islam yang menilai perilaku habaib seperti itu sebagai hal yang wajar.

Masih banyak umat Islam Indonesia yang menganggap suku Ba'alwi adalah ras suci dan paling mulia dalam agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab karangan habaib Ba'alwi.

Tentu saja pandangan ini tidak benar, karena tidak sedikit di antara mereka yang kafir atau berideologi komunis yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Kyai Imaduddin dan kawan-kawan telah berjasa menyingkap kepalsuan nasab salah satu komunitas yang mengaku sebagai dzurriyah Rasulullah SAW dengan pembuktian secara ilmiah. Bagi umat Islam hal ini sangat penting karena kemuliaan dari nasab suci Rasulullah SAW harus dijaga dari penyusup atau kejahatan para pencangkok nasab.

Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menyerukan amar ma’ruf nahi munkar saat melihat kebobrokan akhlak sebagian habib di Indonesia agar tidak berlanjut terlalu jauh sehingga merugikan martabat umat Islam.

(Noor Hilmi, cicit muassis NU)

Diterbitkan di Opini