sindonews.com LINCOLN - Tiga ekor macan tutul salju di kebun binatang Nebraska, Amerika Serikat (AS) mati karena komplikasi infeksi COVID-19 . Pengelola Kebun Binatang juga mengumumkan bahwa dua ekor harimau Sumatera, Axl dan Kumar, tertular virus COVID-19 tetapi telah pulih.

"Kehilangan ini benar-benar memilukan, dan kita semua berduka bersama," keterangan resmi Pengelola Kebun Binatang Nebraska dikutip dari laman foxnews, Senin (15/11/2021). "Macan tutul salju kami, Ranney, Everest, dan Makalu, dicintai oleh seluruh komunitas di dalam dan di luar kebun binatang."

Pihak kebun binatang itu pertama kali melaporkan tiga ekor macan tutul salju positif COVID-19 setelah dilakukan tes pada 13 Oktober 2021. Pemeriksaan dilakukan setelah staf kebun binatang melihat hewan-hewan itu menunjukkan gejala penyakit. 

Staf kebun binatang merawat dengan memberikan steroid dan antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut. Sebelumnya tidak ada satwa lain di kebun binatang yang menunjukkan tanda-tanda terinfeksi COVID-19, sehingga belum bisa diidentifikasi dari mana penularan terjad.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyatakan bahwa penyebaran COVID-19 antara manusia dan hewan kemungkinannya sangat kecil. Meskipun ada beberapa kasus, seperti penyebaran dari kelelawar ke manusia. 

Namun, manusia lebih mudah menyebarkan COVID-19 ke satwa, seperti beberapa kasus sejak pandemi dimulai. Diketahui Manusia telah menyebarkan virus COVID-19 kepada kucing dan anjing dalam beberapa kasus.

Pengelola kebun binatang sudah berusaha keras mengambil tindakan pencegahan agar COVID-19 tidak menyebar kepada manusia dan hewan. Perusahaan farmasi satwa, Zoetis mengembangkan vaksin COVID-19 untuk hewan, yang telah digunakan untuk melindungi primata di kebun binatang di seluruh AS.

(wib)

 

Sumber: https://sains.sindonews.com/read/599617/766/3-macan-tutul-salju-di-kebun-binatang-nebraska-mati-terinfeksi-covid-19-2-harimau-sumatera-sembuh-1636942285

 

Diterbitkan di Berita

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth Jakarta - Jerman diserang gelombang keempat COVID-19, sempat mencatat rekor kasus 50 ribu sehari. Tiga Menteri Kesehatan di negara bagian Jerman mendesak strategi pengendalian COVID-19 lebih ketat seperti lockdown hingga penutupan sekolah.

Insiden kasus COVID-19 selama tujuh hari di Jerman mencapai rekor tertinggi selama pandemi. Jumlah orang yang terinfeksi naik menjadi 277,4 per 100 ribu penduduk berdasarkan data Robert Koch Institute per Sabtu (13/11/2021), di beberapa wilayah bahkan meningkat menjadi 500.

Kepala asosiasi dokter terbesar di Jerman, Marburger Bund mengatakan kepada grup media Jerman Funke Mediengruppe beberapa ruangan intensif atau perawatan ICU kemungkinan perlu memindahkan pasien antarwilayah, mencari tempat tidur dalam beberapa minggu mendatang, imbas kapasitas nyaris penuh.

Beban rumah sakit

Pemerintah federal dan para pemimpin dari 16 negara bagian Jerman akan membahas langkah-langkah pandemi baru pekan depan. Menteri kesehatan negara bagian Baden-Wuerttemberg, Hessen dan Brandenburg berpendapat bahwa sejumlah wilayah perlu tetap membuka opsi kebijakan darurat seperti jam malam, lockdown, atau penutupan sekolah, jika situasinya terus memburuk.

"Menghadapi beban rumah sakit yang di beberapa daerah hampir melebihi batas absolut, status epidemi harus diperpanjang di tingkat nasional," kata ketiga menteri kesehatan itu dalam pernyataan bersama, Sabtu, dikutip dari Channel News Asia.

Kanselir Jerman Angela Merkel mendesak orang yang tidak divaksinasi untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka dalam sebuah pesan video yang disebarkan Sabtu kemarin.

Dia juga menyerukan penegakan aturan yang lebih kuat terkait testing, vaksinasi, atau bukti 'bebas COVID-19' sebelum berkunjung ke tempat tertutup, dan mendesak vaksin booster dilakukan lebih cepat.

"Minggu-minggu yang sulit terbentang di depan kita, dan Anda dapat melihat bahwa saya sangat khawatir," kata Merkel, berbicara dalam podcast video mingguannya. "Saya segera meminta semua orang yang belum divaksinasi, tolong pertimbangkan kembali."

Tentara Jerman sedang bersiap membantu layanan perawatan kesehatan, lapor surat kabar Spiegel, dan akan memberikan vaksinasi dan tes booster di panti jompo dan rumah sakit.

(naf/up)

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5810417/jerman-diserang-gelombang-ke-4-covid-19-rs-mulai-kewalahan?single

Diterbitkan di Berita

VOA Indonesia Dalam laporan mingguan epidemi COVID-19 terbaru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa Eropa sekali lagi memimpin dunia dalam persentase kasus COVID-19 baru dan kematian akibat penyakit yang disebabkan virus corona ini.

WHO melaporkan, jumlah penularan baru di Eropa naik sebanyak 7 persen pada pekan lalu, diikuti dengan kenaikan jumlah kematian sebesar 10 persen. Afrika adalah satu-satunya wilayah lain yang melaporkan peningkatan kasus baru.

Kanselir Jerman Angela Merkel pada Rabu (10/11) menyerukan pertemuan mendesak dengan para gubernur negara bagian, setelah Institut Robert Koch untuk Penyakit Menular melaporkan jumlah rekor baru penularan COVID-19 harian di negara tersebut.

Juru bicara pemerintah Jerman, Steffen Seibert, mengatakan kepada kantor berita DPA bahwa penyakit itu kini "menyebar secara dramatis," dan upaya "tanggap cepat dan terpadu" diperlukan untuk mengatasi situasi yang sedang berlangsung. Seibert juga mengatakan bahwa Merkel terlibat dalam diskusi intensif dengan para menteri, pemerintah daerah, dan kemungkinan partai koalisi pada masa depan mengenai situasi pandemi di Jerman.

Sejalan dengan WHO, Komisi Eropa, yang merupakan cabang eksekutif Uni Eropa, mengakui bahwa telah terjaid peningkatan jumlah kasus COVID-19 di Eropa dalam konferensi pers pada Rabu (10/11) di Brussels.

Juru bicara Komisi Eropa, Dana Spinant, menggambarkan situasi yang terjadi saat ini "rumit" dan dapat "berubah dengan cepat." Ia menambahkan, negara-negara anggota Uni Eropa sedang membicarakan langkah-langkah yang perlu diambil selanjutnya untuk mengatasi pandemi yang sedang terjadi. [ps/lt]

 

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/who-jumlah-kematian-akibat-covid-19-di-eropa-terbanyak-di-dunia/6308790.html

 

Diterbitkan di Berita

Jakarta (ANTARA) - Booster atau suntikan tambahan vaksin COVID-19 Pfizer dikatakan menghasilkan lebih banyak antibodi dan bahkan lebih baik dalam mencegah infeksi SARS-CoV-2, menurut data awal studi.

Para peneliti di Tel Hashomer Hospital, Israel menemukan antibodi yang dihasilkan suntikan booster mampu memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan dua dosis pertama vaksin.

Selain itu, suntikan booster juga terbukti efektif setidaknya selama 9-10 bulan atau bahkan lebih lama, demikian seperti dikutip dari Medical Daily, Kamis.

Temuan ini didapat setelah para peneliti menganalisis data dari 728.321 orang yang menerima suntikan booster. Mereka lalu membandingkannya dengan data kelompok orang yang sama saat hanya mendapat suntikan dua dosis vaksin.

“Hasilnya menunjukkan dengan cara yang sangat meyakinkan dosis ketiga vaksin sangat efisien,” kata kepala inovasi Clalit, Ran Balicer. Badan POM Amerika Serikat (FDA) secara resmi mengizinkan penggunaan booster vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech pada September lalu.

Selama peluncuran awal, individu berusia 65 tahun ke atas harus diprioritaskan, bersama dengan orang berusia 18-64 tahun yang berisiko tinggi menderita infeksi parah.

Sebulan setelahnya, FDA juga secara resmi mengizinkan penggunaan booster untuk vaksin Moderna dan Johnson & Johnson (J&J atau Janssen).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) kemudian mengeluarkan pedoman bahwa penerima vaksin Pfizer, Moderna dan Janssen diizinkan untuk mendapatkan suntikan booster dari salah satu dari tiga merek itu.

Namun, CDC mengatakan, beberapa penerima J&J mungkin menyukai booster dari dua merek lainnya karena vaksin Janssen memiliki efektivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan vaksin berbasis mRNA.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021

 

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2516101/booster-vaksin-covid-19-pfizer-efektif-9-10-bulan

 

 

Diterbitkan di Berita

AN Uyung Pramudiarja- detikHealth Jakarta - Hampir 2 tahun pandemi COVID-19 melanda dunia, para ilmuwan terus mempelajari perbedaan respons individual yang nyatanya sangat beragam. COVID-19 bisa mematikan pada sebagian orang, tapi bahkan tidak memicu gejala pada sebagian yang lain.

Benarkah ada yang sama sekali kebal? Para ilmuwan meyakini, perbedaan genetik memberikan keunikan pada setiap individu. Mereka kini tengah mencari keunikan yang membuat imunitas seseorang lebih kuat dari yang lain, dengan harapan bisa menirunya lewat obat baru.

Saat ini, para ilmuwan tengah mencari orang-orang yang diyakini kebal terhadap SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Gen yang mereka miliki dipercaya memegang kunci penting dalam pengobatan COVID-19.

"Hadirnya SARS-CoV-2 pada populasi naif dalam skala global telah memberikan contoh lain bahwa keragaman klinis yang nyata antara individu dalam hal infeksi, dari infeksi asimptomatis hingga penyakit yang mengancam nyawa," kata Evangelos Andreakos dari Academy of Athens, dikutip dari Sciencealert.

"Pemahaman kami tentang patofisiologi dari COVID-19 yang mengancam jiwa berkembang secara pesat sejak penyakit ini pertama kali dipaparkan pada Desember 2019 tetapi masih sedikit yang kita tahu tentang genetika manusia dan kekebalan imunologis bawaan terhadap SARS-CoV-2," jelasnya.

Meski pengetahuan masih terbatas, tidak berarti hal itu tidak ada. Para ilmuwan beberapa kali menemukan individu yang tidak tertular meski di lingkungannya banyak yang terinfeksi. Sudah banyak pula penelitian dilakukan, meski sejauh ini hasilnya baru menunjukkan perbedaan yang kecil.

Sebagai contoh, laporan tahun lalu menyebut golongan darah O tampak memberikan sedikit kekebalan terhadap infeksi SARS-CoV-2.

Lalu ada juga penelitian yang menyebut protein tertentu seperti reseptor ACE2 atau TMEM41B kemungkinan dibutuhkan oleh virus Corona untuk menggandakan diri di dalam sel.

"Kami menawarkan strategi utnuk mengidentifikasi, merekrut, dan menganalisis secara genetis individu yang secara alami kebal terhadap infeksi SARS-CoV-2," kata Andreakos.

(up/up)

Diterbitkan di Berita

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban membantah ada kepentingan dari tenaga kesehatan dalam syarat tes swab polymerase chain reaction (PCR) bagi pelaku perjalanan transportasi udara dalam negeri.

Hal itu untuk menjawab pertanyaan netizen yang diajukan kepadanya di media sosial. Belakangan syarat tes PCR ini menjadi polemik karena sebelumnya penumpang pesawat hanya menyertakan tes swab antigen sebagai syarat.

Zubairi menekankan bahwa tes swab PCR sebagai syarat perjalanan transportasi udara menjadi salah satu langkah pencegahan penyebaran virus corona di dalam pesawat.

Syarat tersebut juga sama pentingnya dengan vaksin Covid-19. Karena sangat penting, seharusnya tes PCR bisa digratiskan. 

"Posisi saya jelas. Sama seperti vaksin, tes PCR sangat penting untuk melawan pandemi. Tapi jangan dipahami dokter itu mendapat komisi dari penjualan PCR. Tidak nyambung. Bahkan, karena penting, harusnya tes PCR bisa seperti vaksin, yakni gratis. Itu kalau bisa," ujarnya dalam akun Twitter pribadinya @ProfesorZubairi, Sabtu (23/10/2021).

Sebelumnya, pemerintah secara resmi mewajibkan calon penumpang pesawat untuk membawa hasil negatif tes Covid-19 dengan PCR. Aturan baru ini berlaku mulai 24 Oktober 2021.

Hal ini sesuai dengan Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 yang telah disahkan pada Kamis (21/10/2021).

Aturan perjalanan baru ini diperketat seiring perpanjangan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk periode 19 Oktober hingga 1 November 2021.

Aturan ini berlaku untuk rute penerbangan daerah Jawa-Bali yang sudah menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap atau dua kali.

Selain tes PCR, dalam aturan baru ini kapasitas penumpang di pesawat diizinkan lebih dari 70 persen.

Kapasitas bandar udara juga ditetapkan maksimal 70 persen dari jumlah penumpang waktu sibuk di masa normal.

Kemudian anak di bawah 12 tahun sudah diizinkan sebagai calon penumpang pesawat dan tentunya harus menyertakan tes PCR periode 2x24 jam.

Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Fadhilah

 

 

Diterbitkan di Berita

SURYA.CO.ID, SUMENEP - Aksi turun ke jalan untuk menolak pemaksaan vaksinasi kepada masyarakat, akan dilakukan ulama setempat, KH Jurjiz Muzammil dan jamaahnya, Jumat (22/10/2021) ini.

KH Jurjiz yang juga pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Sumenep itu, mengatakan bahwa aksi ini dilakukan karena vaksinasi Covid-19 meresahkan masyarakat ujung timur Madura itu.

Apalagi vaksinasi dilakukan secara paksa dan ada penyekatan oleh pihak kepolisian di setiap titik jalan yang dilintasi. Jamaah akbar KH Jurjiz Muzammil di setiap kecamatan dipastikan akan turun jalan dan mendatangi kantor Bupati Sumenep di Jalan Raya Dr Cipto Kota Sumenep.

"Masyarakat sudah siap, di setiap kecamatan ada perwakilan-perwakilan. Tidak tahu jumlahnya berapa. Kalau setiap Kecamatan satu mobil pikap," kata KH Jurjiz Muzammil, Kamis (21/10/2021). Pimpinan FPI Sumenep ini menyatakan, bahwa pada intinya hasil dari aksi ini tergantung Bupati Sumenep.

"Kalau bupati punya iktikad baik bagi masyarakat, cinta pada masyarakat, maka silakan bikin surat pernyataan seperti Bupati Pamekasan. Yakni tidak ada penyekatan dan pemaksaan vaksinasi Covid-19, hanya itu saja," tegasnya.

Kalau desakan itu dipenuhi, kata KH Jurjiz, pihaknya memastikan sudah selesai dan tidak akan terjadi unjuk rasa. "Kalau bupati tidak membuat surat itu, berarti bupati menginginkan unjuk rasa itu terjadi," tambahnya.

Saat dikonfirmasi soal rencana aksi FPI itu, Kasubbag Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti Sutioningtyas menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu rencana pengamanan (renpam). "Masih dibuat renpamnya," singkat Widiarti Sutioningtyas melalui pesan WhatsAppnya.

Sebelumnya rencana aksi para jamaah itu sudah diketahui dari dua rekaman video yang beredar di media sosial, Rabu (20/10/2021) lalu. Dalam video itu, KH Jurjiz Muzammil bersama para jamaahnya berjanji akan turun jalan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Bupati Sumenep.

"Kami umat Islam dari daerah Manding siap berangkat hari Kamis atau Jumat, tergantung keputusan," kata KH Jurjiz Muzammil dengan berpakaian jubah putih di depan para jamaahnya, dalam rekaman video itu.

Unjuk rasa besar-besaran umat Islam itu, katanya, mendesak orang nomor satu di lingkungan Pemkab Sumenep (bupati) untuk mengeluarkan surat pernyataan tidak akan memaksa warga soal vaksinasi Covid-19.

"Bukan tidak setuju dengan vaksin, kami setuju dan bahkan kami siap mendorong masyarakat yang tidak ada efek samping dan bagi yang mau. Syaratnya tidak ada pemaksaan, karena ini hak asasi manusia," kata KH Jurjiz Muzammil dalam video pertama di wilayah Kecamatan Ganding Sumenep.

Namun ia tidak setuju dengan adanya penyekatan di setiap jalan untuk memaksa warga disuntik vaksin Covid-19. "Karena itu meresahkan masyarakat dan bahkan para pedagang banyak yang ketakutan. Sehingga banyak yang rugi di pasar-pasar," tegasnya. **** 

Penulis: Ali Hafidz Syahbana | Editor: Deddy Humana

 

Diterbitkan di Berita

Khadijah Nur Azizah - detikHealth Jakarta - Vaksin COVID-19 Pfizer menunjukkan efikasi atau kemanjuran lebih dari 90 persen pada anak usia 5-11 tahun. Hasil ini didapatkan dari uji klinis pada kelompok tersebut.

Dikutip dari CNA, hasil studi pada sekitar 2.250 peserta uji coba menemukan 16 anak yang mendapat plasebo terinfeksi COVID-19, sementara hanya tiga yang disuntik vaksin tertular Corona. Data ini dikumpulkan ketika varian Delta dominan di Amerika Serikat dan dunia.

Vaksin pada kelompok anak diberikan dengan dosis 10 mikrogram, sedangkan kelompok usia yang lebih tua telah menerima 30 mikrogram. Dosis diberikan tiga minggu terpisah.

Hasilnya, tidak ada kasus COVID-19 yang parah dan tidak ada kasus sindrom inflamasi multisistem pada anak-anak (MIS-C), kondisi pasca virus yang langka namun serius.

"Meskipun tingkat kematian untuk COVID-19 pada anak-anak secara substansial lebih rendah daripada pada orang dewasa, COVID-19 termasuk di antara 10 penyebab utama kematian untuk anak-anak berusia 5 hingga 14 tahun antara Januari dan Mei 2021 di AS," ujar Pfizer dalam pernyataannya.

Ini adalah pertama kalinya Pfizer merilis perkiraan kemanjuran untuk vaksin COVID buatannya pada anak di bawah 12 tahun, bersama dengan kumpulan data yang lebih rinci.

Menurut dokumen yang dirilis, profil kejadian buruk pada kelompok anak-anak tidak menunjukkan masalah keamanan dari vaksin. Perusahaan telah mengatakan sebelumnya bahwa profil keamanan pada kelompok usia umumnya sebanding dengan usia 16 hingga 25 tahun.

(kna/kna)

Diterbitkan di Berita

Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mengungkapkan setidaknya 85 persen pasien terpapar virus corona yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) rata-rata seluruhnya belum menerima suntikan vaksin Covid-19.

Sekretaris Jenderal PERSI Lia Gardenia Partakusuma menyebut 85 persen pasien tersebut mengalami gejala berat, namun memang rata-rata mereka juga memiliki komorbid alias penyakit penyerta.

"Terbanyak pasien itu yang berat di ICU ada 85 persen mereka yang belum divaksinasi, dan itu biasanya komorbid juga," kata Lia dalam acara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Lawan Covid-19 ID, Selasa (12/10).

Melihat temuan itu, Lia meminta pemerintah agar benar-benar melakukan akselerasi pada program vaksinasi nasional. Sementara warga diminta untuk tidak memilih-milih vaksin covid-19 agar pelaksanaan vaksinasi dapat berjalan lancar.

Kendati mayoritas warga yang belum divaksin memiliki potensi perburukan gejala saat terpapar covid-19. Namun menurutnya masih ada sejumlah warga yang sudah menerima vaksin lengkap, namun masih mengalami kondisi yang kurang baik.

"Ada orang yang sudah dua kali vaksin kok tetap kena, misalnya. Nah, ternyata ada varian mutan yang didapatkan di beberapa provinsi itu memang menyebabkan penularan lebih tinggi dari yang lain," kata dia.

Untuk itu, Lia juga meminta agar pemerintah menggenjot pemeriksaan strain virus baru menggunakan metode pengurutan genom secara keseluruhan (Whole Genome Sequencing/WGS) lantaran varian-varian Covid-19 tampaknya sudah menjadi penularan lokal.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mencatat sudah ada ribuan variant of concern (VoC) di Indonesia. Rinciannya 3.114 kasus varian Delta, 65 kasus varian Alfa, dan 22 kasus varian Beta.

"Umumnya mereka yang sudah divaksin tidak menunjukkan gejala berat, tetapi ada juga yang sedang diteliti ini adalah karena varian itu," ujar Lia.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada akhir Juli lalu juga sempat mengungkapkan setidaknya 90-94 persen kasus kematian warga yang meninggal akibat terinfeksi covid-19 di Indonesia disumbang oleh mereka yang belum menerima suntikan vaksin covid-19.

Dante menambahkan berdasarkan laporan, mayoritas orang yang telah mendapatkan suntikan dosis lengkap vaksin covid-19 tidak mengalami perburukan gejala hingga gejala berat saat terpapar covid-19.

Adapun Kemenkes per Selasa (12/10) Pukul 12.00 WIB mencatat sebanyak 101.362.894 orang telah menerima suntikan dosis pertama vaksin virus corona. Sementara baru 58.405.580 orang telah rampung menerima dua dosis suntikan vaksin covid-19 di Indonesia.

Dengan demikian, target vaksinasi pemerintah dari total sasaran 208.265.720 orang baru menyentuh 48,67 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 28,04 persen.

(khr/DAL)

Diterbitkan di Berita

Dalam makalah mereka yang diterbitkan di jurnal Science, kelompok tersebut menjelaskan studi mereka tentang sistem interferon dan perannya dalam memerangi virus SARS-CoV-2.

Ketika pandemi global telah menyebar, menjadi jelas bahwa beberapa orang memiliki gejala yang jauh lebih serius ketika tertular COVID-19 daripada yang lain.

Memang, beberapa orang ditemukan tidak menunjukkan gejala sama sekali, sementara yang lain menjadi sangat sakit sehingga mereka meninggal. 

Dalam upaya baru ini, para peneliti melakukan skrining ekspresi gen terstimulasi interferon yang ekstensif untuk mengisolasi kemungkinan enzim yang terlibat dalam memperingatkan sistem kekebalan terhadap infeksi, seperti dikutip dari Medical Xpress, Kamis (30/9/2021). 

Interferon adalah protein-protein sinyal yang memperingatkan tubuh ketika entitas invasif seperti bakteri dan virus terdeteksi. Pekerjaan oleh para peneliti membawa mereka ke OAS1, enzim yang bereaksi terhadap sinyal interferon dengan meminta respons imun ketika virus SARS-CoV-2 terdeteksi. 

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa OAS1 menempel pada membran menggunakan gugus prenyl sebagai bagian dari proses pensinyalan. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa pensinyalan ini dapat menghambat replikasi virus SARS-CoV-2. 

Memperhatikan nilainya dalam melindungi orang dari COVID-19, para peneliti melihat transkriptomika dari 500 pasien COVID-19 yang telah mengalami berbagai gejala dan menemukan bahwa mereka yang tidak memiliki prenylated OAS1 mengalami gejala yang jauh lebih parah. 

Mengapa beberapa orang dilahirkan tanpa enzim ini masih menjadi misteri, tetapi pekerjaan tim dapat membantu menghasilkan jenis vaksin baru untuk melawan COVID-19 dan jenis infeksi lainnya.

Penasaran dengan temuan mereka, para peneliti mengalihkan perhatian mereka ke mamalia lain yang mungkin terlibat dalam pandemi ini — kelelawar tapal kuda.

Mereka menemukan bahwa hewan itu tidak memiliki bentuk prenylated OAS1 yang melindungi manusia dari virus, dan membantu menjelaskan mengapa virus itu sangat mematikan bagi spesies tersebut.

Temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa kelelawar merupakan inang yang sangat produktif bagi berbagai virus.

Diterbitkan di Berita